Selasa, 22 September 2015

PUTUSAN VRIJSPRAAK, Hr.ANALISA MEDAN

Upaya Hukum Putusan Bebas (Vrijspraak)

Jumat, 23 Januari 2015 | Dibaca 711 kali 
 

Oleh: Dahsat Tarigan SH MH dan Uratta Ginting SH. 

 KUHAP lahir masih berusia muda (dua tahun setelah 1981) putusan (vonis) be­bas telah menjadi polemik, karena da­lam KUHAP ada larangan pasal 244 KUH­AP tidak dibenarkan melakukan upaya hukum kasasi oleh siapapun. Ter­tutup untuk vonis bebas (vrijspraak). Akan tetapi, dalam praktek­nya pu­tusan be­bas ternyata belum final. Mahkamah Agung sendiri sebagai peradilan tertinggi di negeri ini telah menerobos larangan KUHAP tersebut.

Dalam kasus korupsi Bank Bumi Daya terdakwa Raden Sanson Natale­gawa, merupakan kasus pertama di Indo­nesia yang diputus bebas oleh Penga­di­lan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Pe­bruari 1982. MA atas permohonan ka­sasi jaksa, membatalkan putusan bebas PN Jakarta Pusat dan menjatuh­kan pi­dana 2 tahun 6 bulan terhadap terdak­wa. Dan masih banyak lagi kasus serupa, dian­taranya Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin, Walikota Bekasi Moch­tar Mu­ham­mad semula telah divonis be­bas oleh pengadilan tingkat per­tama, MA ke­mudian menjatuhkan putusan 6 tahun penjara.

Berkaitan dengan larangan pasal 244 KUHAP, larangan dalam pasal 67 KUHAP adalah lebih tegas dan pasti bahwa terhadap putusan bebas  adalah mutlak dengan dalil apapun ti­dak dibenarkan melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi ;

Apa yang sebenarnya terjadi dengan putusan bebas, sedang pasal 244 KU­HAP telah memberi rumusan yang tegas, ber­­bunyi, "Terhadap putusan perkara pi­dana yang diberikan pada tingkat te­rakhir oleh pengadilan lain selain dari­pada Mahka­mah Agung, terdakwa atau pe­nuntut umum dapat mengajukan per­min­taan pemeriksaan kasasi kepada Mah­kamah Agung kecuali terhadap putusan bebas."
Dari satu sisi memang terlihat seperti tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil bagi terdakwa karena awalnya telah dibebaskan pengadilan (judex facti) dari jerat hukum, kemudian MA pada akhir­nya menjatuhkan pidana terhadap ter­dakwa.

Dasar MA
MA mengambil sikap menerobos larangan pasal 244 KUHAP atas permo­ho­nan kasasi jaksa tentu tidak pula di­lakukan secara gegabah, tanpa dasar dan argumen hukum yang jelas. Terobosan di­maksud jika dimaknai sebagai upaya mem­berantas korupsi yang semakin me­re­bak di negeri ini patut disambut positif oleh semua kalangan.

Demikian juga MA dalam merespon pesan Putusan Mah­kamah Konstitusi tang­gal 28 Maret 2013 No. 114/PUU-X/2012 perlu juga menjadi renungan para hakim agar tidak terlalu gampang men­­jatuhkan vonis bebas karena telah mem­­batalkan frasa "kecuali terhadap pu­tusan bebas" dalam pasal 244 KUH­AP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945." Dengan demikian vonis be­bas kini leluasa dikoreksi oleh MA.
Lagi pula jika vonis bebas adalah final sebagai putusan pertama dan terakhir, di­khawatirkan putusan  bebas tersebut akan berlaku sebagai amunisi bagi terdakwa sehingga cara apapun ditem­puh agar dirinya bebas dari jerat hukum.

Oleh karena itu, Pemerintah (ketika itu Menteri Kehakiman RI) dalam keputusan­nya No. M.14 PW.07.03 Tahun 1983, tgl. 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pe­lak­sanaan KU­HAP (TPP KUHAP) pada butir 19 di­can­tumkan :
"Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadi­lan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat mintakan kasasi. Hal ini akan dijadikan yurisprudensi."

Berdasarkan surat keputusan tersebut diatas, Pemerintah menyerahkan sepe­nuh­nya persoalan putusan bebas itu kepada Mahkamah Agung untuk men­cip­takan yurisprudensi.
Yurisprudensi pertama khusus putu­san bebas adalah pu­tusan MA No. 275 K/Pid/1983, tanggal 15 Desember 1983 An. Raden Sason Natalegawa terdakwa da­lam kasus korupsi Bank Bumi Daya di­jatuhi pidana 2 tahun 6 bulan yang se­mula divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat.
Sejak putusan Mahkamah Agung itu pula dalam praktek dikenal dua istilah putusan bebas murni dan tidak murni yang selalu mewarnai irah-irah putusan MA.

Terhadap semua putusan bebas pro­duk pengadilan negeri apabila jaksa da­pat membuktikan putusan tidak murni, maka terbuka kesempatan untuk melaku­kan upaya hukum kasasi, kecuali terha­dap putusan yang sifatnya bebas murni. Untuk menilai suatu putusan bebas murni atau tidak murni, jika terlalu me­nge­depankan unsur subjektif, rasanya un­tuk mengejar kebenaran materil masih terl­alu rumit dan mem­butuh­kan waktu yang panjang.

Putusan Bebas
Putusan bebas pasal 191 ayat (1) KUHAP menegaskan, "Jika pengadilan ber­pen­dapat bahwa dari hasil pe­me­rik­saan di sidang, kesalahan terdakwa atas pebuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakin­kan, maka terdakwa diputus bebas."

Tampaknya apa yang ditegaskan oleh pasal 191 ayat (1) KUHAP seolah-olah terdakwa bebas hanya karena kesalahan­nya tidak terbukti di persidangan. Dengan melihat penjelasan resmi pasal tersebut baru dapat dipahami secara pasti bahwa yang dimaksud dengan "perbua­tan yang didakwakan kepada­nya tidak terbukti sah dan menyakinkan" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah.

Jadi, baik kesalahan terdakwa atau perbuatan yang di­dakwakan tidak ter­buk­ti berdasarkan alat bukti pasal 184 KUHAP sesuai dengan keyakinan hakim atau hakim dalam hal ini misalnya ragu, maka terdakwa wajib diputus bebas (pa­sal 183 KUHAP).

Hal demikian inilah disebut pem­be­basan yang murni sifat­nya (vrijspraak) se­suai dengan bunyi pasal 244 KUHAP, se­hingga permohonan kasasi jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Berbeda halnya,  apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang ke­liru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam dakwaan, bukan di­dasarkan tidak terbukti­nya unsur-nsur pasal yang didakwakan jaksa; bahkan hakim telah melampaui batas kewe­na­ngan­nya (menurut kompentensi absolut dan relatif) dan unsur-unsur nonjuridis misalnya turut dibuat menjadi pertim­bangan dalam putusannya. Hal demikian disebut putusan bebas tidak murni dan dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Menurut Harun M. Husein SH (1991:116) secara formal bunyi putusan adalah pembebasan tapi secara material sesung­guhnya putusan itu berisi pelepa­san dari segala tuntutan hukum.
Oleh karena itu, meskipun jaksa me­nempuh upaya hukum dengan alasan pu­tusan bebas tidak murni, terdakwa bila be­rada dalam tahanan wajib dikeluarkan dari tahanan sejak putusan diucapkan tanpa harus menunggu putusan Mah­kamah Agung (Varia Peradilan, No. 345 Agustus 2014, hl.171).

Persoalan penting yang perlu menjadi renungan kita adalah, apakah sudah tepat dijadikan dasar hukum TPP KUHAP yang diterbitkan oleh Menteri Kehaki­man dan yurisprudensi sebagai sumber hukum untuk tidak mematuhi larangan pasal 244 KUHAP?

Ini penting mengingat TAP MPR RI No. III Tahun 2000 telah menentukan sum­­ber hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1. UUD 1945, 2. Ketetapan MPR, 3. UU, 4. Perpu, 5. PP, 6. Keppres yang bersifat mengatur, dan 7. Perda. Sedangkan TPP KUHAP dan Yurisp­ru­densi tidak termasuk dalam TAP MPR tersebut.

Apalagi menurut hakim agung Artidjo Al­kos­tar di Jakarta, 20 Oktober 2014 lalu mengatakan, bebas murni atau tidak murni sudah tidak relevan lagi dipertim­bang­kan karena semua vonis bebas di­katakan boleh kasasi. Tidak ada lagi per­bedaan putusan bebas murni atau tidak murni. Format upaya hukum jaksa tidak ada lagi permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima (Hukum On­line.com).

Penjelasan Artidjo tentang perubah­an format kasasi atas vonis bebas ba­rang­kali adalah suatu bentuk respon dari Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Maret 2013 No. 114/PUU-X/2012 yang telah membatalkan frasa "kecuali terhadap putusan bebas" dalam pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945.
Kalau terobosan demi terobosan harus dilakukan juga untuk melawan ke­jahatan korupsi di tanah air, patut di­sambut baik oleh semua kalangan. Na­mun, penegakan hukum yang bagai­mana hendak dituju kalau semua kasus pidana yang divonis bebas seperti sudah menjadi suatu kewajiban mela­kukan upaya hukum kasasi ke MA.

Seandainya, seorang ibu rumah tangga ditangkap, ditahan penyidik Polri karena suaminya diduga kuat seorang agen togel. Karena sang suami terkesan sangat licin menghindar dari sergapan polisi. Isteri yang tak tahu apa-apa malah diadili di pengadilan sebagai terdakwa agen togel, setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan sidang akhirnya pengadilan memu­tus bebas karena hal-hal yang terbukti diper­sidangan hanya bukti rekayasa saja.

Putusan bebas dalam perkara a quo jika jaksa memaksakan diri melakukan upaya hukum kasasi. Terdakwa sudah tentu merasa tidak ada jaminan kepas­tian hukum yang adil, apalagi harus me­nunggu putusan MA terdakwa di­biar­kan masih tetap mendekam dalam tahanan. ***
Penulis adalah Advokat, tinggal di Medan. E-Mail: uratta.gins@gmail.com

2 komentar: