Selasa, 22 September 2015

PENAHANAN OLEH PENYIDIK POLISI

Penahanan oleh Penyidik Polisi

Oleh Uratta Ginting

Penahanan terhadap seseorang dilakukan oleh penyidik polisi semata-mata untuk kepentingan penyidikan (idealnya) guna menemukan kebenaran materil berdasarkan bukti-bukti yang cukup sesuai dengan azas pembuktian minimal Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Dan disamping itu, adanya penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana oleh karena keadaan yang menimbulkan kekhwatiran, tersangka akan: melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1 KUHAP).

Adanya dugaan keras sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup (pasal 17 KUHAP), prinsip ini adalah prinsip yang sangat hakiki yang dianut dalam KUHAP (M. Yahya Harahap, SH. 2008:55).
Artinya temukan dan kumpulkan dulu alat bukti yang cukup baru dilakukan penahanan. Bukan menggunakan methode taktis tangkap dan tahan dulu. Kemudian tersangka diperas agar mengaku, baru cari bukti yang cukup. Sikap demikian dalam praktek penegakan hukum jika terlalu dipaksakan, maka harapan menemukan kebenaran materil sulit diperoleh. Kesannya, seolah-olah hendak mengubah arus perkara (melanggar pasal 6 huruf (n) PP No. 2 Tahun 2003 Tentang Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI).

Jika penahanan dilakukan oleh penyidik polisi hanya mengejar pengakuan semata dari tersangka, maka ketidakadilan akan selalu terjadi. Misalnya, seorang warga menangkap seseorang maling Kambing dan langsung mengantarnya kehadapan penyidik minta ditahan. Sebagai penyidik profesional wajib menyisir terlebih dahulu bukti-bukti pendukung. Apakah benar telah terjadi tindak pidana pencurian dan seseorang yang diantar warga tersebut benar sebagai pelakunya.

Mengungkap kejahatan dengan cara gegabah seorang juru parkir yang tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan harus rela tubuhnya diterjang peluru panas petugas agar mengaku menganiaya direktur perusahaan swasta hingga tewas. Lagi-lagi seorang wanita, Yuniar Hadi Yanti alias Nindi (31) korban salah tangkap, terpaksa mendekam 4 bulan di sel Mapolsekta Medan Baru (Posmetro Medan, 9/3).
Seorang tersangka diduga melakukan pencurian telah menjalani penahanan selama 59 hari. Sedangkan batas waktu penahanan ditingkat penyidik ditentukan limitatif hanya 60 hari (sudah termasuk perpanjangan penahanan). Berarti tinggal 1 hari lagi jika penyidikan belum juga tuntas maka tersangka demi hukum harus dikeluarkan dari tahanan..

Untuk menghindari tersangka tidak bebas demi hukum, penyidik memasang akal dengan cara tidak lajim, membuat selembar surat untuk ditandatangani keluarga tersangka dengan maksud seolah-olah tersangka keluar dari tahanan karena ada permohonan penangguhan penahanan (Harian Bersama, 6/5).
Jika hak-hak tersangka yang sangat krusial selalu diabaikan oleh penyidik, akibatnya selalu fatal. Tersangka dan keluarganya sebagai korban ketidakadilan terpaksa menelan pil pahit.

Hak tersangka tersebut diantaranya adalah untuk mendapat “bantuan hukum” dari seorang penasihat hukum (pengacara) mulai dari tingkat pemeriksaan penyidik polisi (pasal 54 KUHAP). Pada tahap ini hak tersangka tersebut apakah sengaja atau tidak kerab dilanggar begitu saja. Ironisnya lagi dalam berkas tersangka bahkan ada ditemukan bukti surat pernyataan penolakan penasihat hukum yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh penyidik, tersangka tinggal teken.

Pada hal pasal 56 ayat (1) KUHAP dalam proses perkara pidana kehadiran seorang penasihat hukum itu “wajib,” sesuai putusan Mahkamah Agung RI No. 1658 K/Pid/1991 tanggal 16 Nopember 1993, bila tersangka tidak memiliki penasihat hukum penyidik wajib menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi tersangka.

Mungkinkah penyidik ada niat menunjuk seorang Penasihat Hukum untuk mendampingi tersangka sedangkan di pintu masuk tahanan sendiri terpampang sebuah pengumuman “dilarang menjenguk” (nama tersangka jelas disebut).

Kemudian apa pula gerangan tujuannya, dalam lembaran Berita Acara Pemeriksaan penyidik ada juga seorang penasihat hukum ikut nimbrung membubuhkan tandatangannya. Kesannya agar memenuhi bunyi pasal 56 ayat (1) KUHAP, seolah-olah penasihat hukum benar mendampingi tersangka saat pemeriksaan berlangsung. Pada hal tersangka sendiri tidak pernah kenal panasihat hukum tersebut hingga pengadilan memutuskan perkaranya. Tentu ini sangat ganjil.

Apapun alasannya kehadiran penasihat hukum dalam proses pidana wajib sejak KUHAP diundangkan tahun 1981. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991, tgl. 16 September 1993 menjelaskan : “Penyidikan yang melanggar Pasal 56 ayat (1) KUHAP menyebabkan hasil penyidikan tidak sah sehingga dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.”

Hak tersangka lainnya jangka waktu penahanan di tingkat penyidikan selalu diterapkan maksimal pada hal tersangka melihat kasusnya sudah cukup hanya diperiksa beberapa kali saja. Ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak tersangka sebagaimana diatur dalam pasal 50 KUHAP.

Tidak kalah pentingnya demi terwujudnya kebenaran materil tersebut adalah hak tersangka untuk mengajukan saksi a decharge (saksi meringankan) yang diajukan sendiri oleh tersangka pada tahap penyidikan polisi. Hendaknya hak tersebut tidak hanya berlaku ditingkat pemeriksaan pengadilan. Juga ditingkat penyidikan karena azas praduga tidak bersalah dari awal pemeriksaan melekat pada diri tersangka. Tersangka dinyatakan bersalah apabila putusan pengadilan telah berkekuatan hukum.

Bersalah tidaknya seorang tersangka, pengadilan yang memutuskan. Meskipun pengadilan memutus perkara berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik. Akan tetapi, jika Berita Acara Pemeriksaan tersebut ternyata sesat, maka giliran berikutnya juga timbul peradilan sesat.. Dapat disimak kasus yang menimpa Rido’i seorang tukang cukur rambut (tersangka) yang ditengarai melanggar pasal 365 KUHP tentang pencurian dan kekerasan (perampokan).

Saat diperiksa penyidik Polres Surabaya Utara, mata tersangka Rido’I ditutup dengan lakban, kepala ditutup kresek hitam akibatnya tersangka tersebut kesulitan bernafas. Ternyata tidak cukup itu saja. Kaki tersangka lalu ditembak agar mengakui perbuatannya. Pengadilan Negeri Surabaya berdasarkan bukti-bukti yang ada akhirnya diyakini terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman selama 4 tahun yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.

Rido’i terpaksa mendekam dalam tahanan 1 tahun lebih menunggu putusan Mahkamah Agung RI yang akhirnya membebaskan Rido’i dari tanahan dalam kasus perampokan yang dituduhkan kepadanya.
Karena Rido’i tetap merasa tidak bersalah mencoba mengadu nasib dengan cara melaporkan penyidik dan kasat serse Polres Surabaya Utara kepada Kapolri dan Propam Mabes Polri. Uluran tangan pun terjadi, Rido’i diberikan santunan berobat Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Lalu apa pantas dihargai penderitaan Rido’i demikian? Solusi seperti itu adalah pendekatan moral bukan pendekatan hukum yang jarang terjadi di negeri ini.

Rido’i sedikit lebih beruntung dari catatan kelam penegakan hukum dibandingkan dengan kasus Sengkon-Karta tahun 1974 lalu. Mereka berdua dijatuhi hukuman 12 tahun dan 7 tahun penjara. Setelah mendekam 4 tahun ada orang lain mengaku sebagai pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Ternyata jalan menuju bebas juga tidak gampang, penuh liku-liku. Walaupun akhirnya resmi bebas mereka hanya berdoa agar lekas mati. Benar, kini mereka telah mati dengan membawa segudang luka.

Tentang penulis:
Uratta Ginting SH, advokat pada Kantor Advokat Dahsat Tarigan SH & Associates di Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar