Putusan Praperadilan
Terkait Penetapan Tersangka Pasca Putusan MK
Oleh Uratta Ginting SH
Meskipun putusan Hakim tunggal
Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara permohonan
praperadilan (prapid) Komjen Pol BG telah berlalu, namun pembicaran terkait
praperadilan masih tetap menarik perhatian banyak kalangan. Pasalnya putusan hakim
tunggal Sarpin dinilai lain dari biasanya.
Objek pemeriksaan praperadilan sebaimana diatur dalam pasal 77 KUHAP
diperluas termasuk penetapan tersangka.
Berdasarkan
keyakinan seorang hakim senior putusan praperadilan tanggal 16 Februari 2015 Hakim
tunggal Sarpin telah mengabulkan permohonan Komjen Pol BG bahwa penetapan
tersangka atas diri BG yang diduga memiliki rekening gendut oleh KPK diputus
tidak sah.
Meskipun
penetapan tersangka dalam KUHAP jelas-jelas bukan sebagai objek pemeriksaan
praperadilan, namun lewat putusan praperadilan hakim Sarpin boleh dibilang
pertama di Indonesia. Amar putusannya begitu menukik tindakan KPK dengan
menyatakan segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh
KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri BG, tidak sah
(tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat).
Berbeda
dengan mantan Hakim Agung RI, M. Yahya Harahap sebagai saksi ahli yang
dihadirkan oleh KPK dalam perkara prapid
mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan tegas mengatakan bahwa “penetapan
tersangka” bukan upaya paksa dan tidak masuk yurisdiksi praperadilan (kompas,
07/04).
Polemik
Polemik tentang penetapan tersangka
bukan objek pemeriksaan prapid sesuai pasal 77 KUHAP berakhirlah sudah. Kini
penetapan tersangka bersama dengan penggeledahan dan penyitaan telah resmi
menjadi objek pemeriksaan prapid berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor : 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015.
Pasca putusan MK tersebut mulai
dirasakan dampaknya. PN Jakarta Selatan (12/045) putusan MK telah dijadikan
sebagai acuan dalam mengadili prapid an. Mantan Walikota Makassar Ilham Arif
Sirajuddin sebagai tersangka korupsi tidak sah karena penyidik KPK tidak
memiliki bukti-bukti akurat (Kompas, 13/05).
Pertanyaannya,
apa alasan penyidik KPK begitu gampang menetapkan status seseorang menjadi
tersangka hingga bertahun-tahun lamanya pada hal bukti-bukti pendukung untuk
itu sama sekali belum cukup?Itu
berarti, pasca putusan MK kemampuan penyidik dalam mengungkap tindak pidana
yang terjadi dituntut maksimal, profesional, untuk membuat kasus yang benar-benar mentah (gelap) menjadi
lebih terang dari cahaya. Penyidik sebagai pintu gerbang pertama dalam
penegakan hukum di tanah air dituntut harus lebih mampu berperan. Karena semua
produk yang dihasilkan oleh penyidik menjadi dasar segala-segalanya dalam
proses hukum pengadilan untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi.
Terdakwa
kadang kala divonis bebas dari jerat hukum sering pula terjadi karena dakwaan
jaksa penuntut umum tidak terbukti. Atau jika perkaranya tetap dipaksakan dapat
dipastikan peradilan sesat muncul akan menghukum orang yang tidak tahu apa-apa
seperti kasus Sengkon dan Karta atau Lingah Pacah beberapa waktu silam.
Ketentuan hukum tidak dapat
menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan
pelanggaran hak asasi seseorang sehingga korban sering tidak memperoleh
perlindungan hukum yang nyata dari negara dan dalam bentuk sanksi apa yang
diterapkan kepada penyidik yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap diri
tersangka atau terdakwa, belum ada ketentuan tersendiri yang mengatur, satu-satunya
ketentuan yang mengatur hal tersebut dalam
pasal 422 KUHP namun tidak pernah digunakan, berbunyi :
“Seorang pejabat yang dalam suatu
perkara pidana, menggunakan sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan, maupun
untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.”
Adalah benar penyidikan sangat
identik dengan ’’upaya paksa,’’ dimulai dari adanya panggilan, penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat-surat, dan lain-lain
sesuai dengan KUHAP. Agaknya jarang ditemui seorang tersangka tipe orang yang baik-baik
dan selalu siap mengakui semua kesalahannya, merasa menyesal, dan tidak suka
berbelit-belit.
Tentunya menjadi tantangan bagi
penyidik mampu bertindak profesional. Betapapun kerumitan yang dihadapi untuk
mengungkap suatu kasus tindak pidana bukan alasan pembenar untuk melakukan berbagai
bentuk kekerasan atau tindakan ilegal yang tidak dibenarkan oleh undang-undang
dan mengingkari hak asasi manusia (HAM), dengan satu tujuan demi sebuah
pengakuan dari tersangka. Pada hal pengakuan itu sendiri sekarang tidak lagi
dikenal dalam KUHAP (vide pasal 184).
DILUAR DUGAAN
BG mengajukan permohonan prapid guna
menguji sah tidaknya terkait dirinya ditetapkan sebagai tersangka memiliki rekening
gendut oleh KPK, menurut hemat penulis perjuangan yang ditempuh oleh BG sudah tepat
dan benar.
Karena
yang kerap terjadi selalu diluar dugaan, aparat penegak hukum terbuka lebar
kesempatan bertindak sewenang-wenang, terlalu prematur dan gampang menetapkan
seorang tersangka. Begitu ditetapkan tersangka kemudian ditangkap dan ditahan.
Urusan bukti-bukti dikumpulkan belakangan. Sehingga layak dipandang sebagai
bentuk pelanggaran hak asasi menusia, sebagaimana diamanatkan Pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Hukum selalu mengikuti kemajuan
zaman, sehingga arti “bukti permulaan yang cukup” dalam
upaya paksa (pasal 17 dan pasal 1 butir 14 KUHAP) harus pula ditafsirkan selaras
dengan kemajuan zaman itu sendiri. Sebab
penjelasan pasal tersebut upaya paksa ditujukan hanya kepada mereka yang “betul-betul
melakukan tindak pidana.”
Tentunya,
tidak mungkin memenuhi harapan secara maksimal untuk mengungkap kebenaran
materil jika tidak memenuhi ketentuan bukti pasal 184 KUHAP dan upaya
menafsirkan “bukti permulaan yang cukup” dalam prakteknya hanya berupa
Laporan Polisi (LP) dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang merupakan produk
dari penyidik (Bdk. Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang
Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana), justeru saat ini dinilai
tidak memadai lagi untuk mengungkap kebenaran materil.
Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 telah memenuhi rasa keadilan bagi
masyarakat luas karena betapa sakitnya menyandang status tersangka tanpa
diketahui apa sebenarnya kesalahan yang diperbuatnya, kiranya setiap warga
negara yang statusnya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana
umum juga berhak mencari keadilan melalui praperadilan. Tidak hanya
dilingkungan pidana khusus (korupsi).
Dengan
demikian barangkali hal-hal seperti itulah peristiwa hukum yang dimaksudkan
oleh Alm Satjipto Rahardjo sebagai ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau
hukum yang prorakyat (hukum progresif) atau istilah Mochtar Kusumaatmadja
merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Medan, Juni 2015
Penulis adalah Advokat tinggal di
Medan
E-Mail : uratta.gins@yahoo.com
Fb
: Sinisuka Uratta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar