Selasa, 22 September 2015

PRAPERADILAN



Putusan Praperadilan
Terkait Penetapan Tersangka Pasca Putusan MK

Oleh Uratta Ginting SH

Meskipun putusan Hakim tunggal Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara permohonan praperadilan (prapid) Komjen Pol BG telah berlalu, namun pembicaran terkait praperadilan masih tetap menarik perhatian banyak kalangan. Pasalnya putusan hakim tunggal Sarpin dinilai lain dari biasanya.  Objek pemeriksaan praperadilan sebaimana diatur dalam pasal 77 KUHAP diperluas termasuk penetapan tersangka.

Berdasarkan keyakinan seorang hakim senior putusan praperadilan tanggal 16 Februari 2015 Hakim tunggal Sarpin telah mengabulkan permohonan Komjen Pol BG bahwa penetapan tersangka atas diri BG yang diduga memiliki rekening gendut oleh KPK diputus tidak sah. 
 
Meskipun penetapan tersangka dalam KUHAP jelas-jelas bukan sebagai objek pemeriksaan praperadilan, namun lewat putusan praperadilan hakim Sarpin boleh dibilang pertama di Indonesia. Amar putusannya begitu menukik tindakan KPK dengan menyatakan segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri BG, tidak sah (tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat).

Berbeda dengan mantan Hakim Agung RI, M. Yahya Harahap sebagai saksi ahli yang dihadirkan oleh KPK dalam perkara  prapid mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,  dengan tegas mengatakan bahwa “penetapan tersangka” bukan upaya paksa dan tidak masuk yurisdiksi praperadilan (kompas, 07/04).
 
Polemik

Polemik tentang penetapan tersangka bukan objek pemeriksaan prapid sesuai pasal 77 KUHAP berakhirlah sudah. Kini penetapan tersangka bersama dengan penggeledahan dan penyitaan telah resmi menjadi objek pemeriksaan prapid berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015.   

Pasca putusan MK tersebut mulai dirasakan dampaknya. PN Jakarta Selatan (12/045) putusan MK telah dijadikan sebagai acuan dalam mengadili prapid an. Mantan Walikota Makassar Ilham Arif Sirajuddin sebagai tersangka korupsi tidak sah karena penyidik KPK tidak memiliki bukti-bukti akurat (Kompas, 13/05). 

Pertanyaannya, apa alasan penyidik KPK begitu gampang menetapkan status seseorang menjadi tersangka hingga bertahun-tahun lamanya pada hal bukti-bukti pendukung untuk itu sama sekali  belum cukup?Itu berarti, pasca putusan MK kemampuan penyidik dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi dituntut maksimal, profesional,  untuk membuat  kasus yang benar-benar mentah (gelap) menjadi lebih terang dari cahaya. Penyidik sebagai pintu gerbang pertama dalam penegakan hukum di tanah air dituntut harus lebih mampu berperan. Karena semua produk yang dihasilkan oleh penyidik menjadi dasar segala-segalanya dalam proses hukum pengadilan untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi.
Terdakwa kadang kala divonis bebas dari jerat hukum sering pula terjadi karena dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti. Atau jika perkaranya tetap dipaksakan dapat dipastikan peradilan sesat muncul akan menghukum orang yang tidak tahu apa-apa seperti kasus Sengkon dan Karta atau Lingah Pacah beberapa waktu silam. 

Ketentuan hukum tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga korban sering tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara dan dalam bentuk sanksi apa yang diterapkan kepada penyidik yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap diri tersangka atau terdakwa, belum ada ketentuan tersendiri yang mengatur, satu-satunya ketentuan yang mengatur hal tersebut  dalam pasal 422 KUHP namun tidak pernah digunakan, berbunyi :

“Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana, menggunakan sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” 

Adalah benar penyidikan sangat identik dengan ’’upaya paksa,’’ dimulai dari adanya panggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat-surat, dan lain-lain sesuai dengan KUHAP. Agaknya jarang ditemui seorang tersangka tipe orang yang baik-baik dan selalu siap mengakui semua kesalahannya, merasa menyesal, dan tidak suka berbelit-belit.

Tentunya menjadi tantangan bagi penyidik mampu bertindak profesional. Betapapun kerumitan yang dihadapi untuk mengungkap suatu kasus tindak pidana bukan alasan pembenar untuk melakukan berbagai bentuk kekerasan atau tindakan ilegal yang tidak dibenarkan oleh undang-undang dan mengingkari hak asasi manusia (HAM), dengan satu tujuan demi sebuah pengakuan dari tersangka. Pada hal pengakuan itu sendiri sekarang tidak lagi dikenal dalam KUHAP (vide pasal 184).

DILUAR DUGAAN
             
BG mengajukan permohonan prapid guna menguji sah tidaknya terkait dirinya ditetapkan sebagai tersangka memiliki rekening gendut oleh KPK, menurut hemat penulis perjuangan yang ditempuh oleh BG sudah tepat dan benar. 

Karena yang kerap terjadi selalu diluar dugaan, aparat penegak hukum terbuka lebar kesempatan bertindak sewenang-wenang, terlalu prematur dan gampang menetapkan seorang tersangka. Begitu ditetapkan tersangka kemudian ditangkap dan ditahan. Urusan bukti-bukti dikumpulkan belakangan. Sehingga layak dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi menusia, sebagaimana diamanatkan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.”

Hukum selalu mengikuti kemajuan zaman, sehingga arti “bukti permulaan yang cukup” dalam upaya paksa (pasal 17 dan pasal 1 butir 14 KUHAP) harus pula ditafsirkan selaras dengan kemajuan zaman itu sendiri.  Sebab penjelasan pasal tersebut upaya paksa ditujukan hanya kepada mereka yang “betul-betul melakukan tindak pidana.” 

Tentunya, tidak mungkin memenuhi harapan secara maksimal untuk mengungkap kebenaran materil jika tidak memenuhi ketentuan bukti pasal 184 KUHAP dan upaya menafsirkan “bukti permulaan yang cukup” dalam prakteknya hanya berupa Laporan Polisi (LP) dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang merupakan produk dari penyidik (Bdk. Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana), justeru saat ini dinilai tidak memadai lagi untuk mengungkap kebenaran materil.
 
Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal  28 April 2015 telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas karena betapa sakitnya menyandang status tersangka tanpa diketahui apa sebenarnya kesalahan yang diperbuatnya, kiranya setiap warga negara yang statusnya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana umum juga berhak mencari keadilan melalui praperadilan. Tidak hanya dilingkungan pidana khusus (korupsi).

Dengan demikian barangkali hal-hal seperti itulah peristiwa hukum yang dimaksudkan oleh Alm Satjipto Rahardjo sebagai ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) atau istilah Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.


Medan,      Juni  2015    

Penulis adalah Advokat tinggal di Medan
E-Mail : uratta.gins@yahoo.com
Fb : Sinisuka Uratta
       
                                                                                                         






Tidak ada komentar:

Posting Komentar