Angeline,
Apa Salahmu
Angeline, gadis cilik (8 tahun), siswi sebuah Sekolah
Dasar di Denpasar Bali. Benar-benar memiliki garis kehidupan yang berbeda
dengan anak-anak sebayanya. Sehari-hari seperti tiada hari tanpa penderitaan bersama
ibu angkatnya. Ketika hendak pergi ke sekolah (menurut ukuran usia Angeline) harus
menempuh jarak yang cukup jauh berjalan kaki tanpa diantar oleh siapapun.
Kini gadis cantik Angeline telah pergi untuk selamanya yang
diawali dengan cara-cara sangat brutal oleh pelaku pembunuhnya. Hanya Angeline
sendiri yang paling banyak mengetahui
apa dan siapa pelaku sebenarnya yang bertindak biadap itu. Sekali lagi apa salahmu, Angeline?
Penulis yakin air mata Angeline telah kering, suara serak
terlalu lama berteriak menahan rasa sakit. Media melaporkan hasil autopsi
ditubuh Angeline ditemukan luka benturan di kepala bagian kanan, luka memar
pada wajah, leher, tangan, lengan, paha, pantat, dan punggung, kaki akibat
kekerasan benda tumpul. Warga sekitarpun dalam diamnya tidak memberi
pertolongan justru ada andil pula ikut melakukan pembunuhan.
Mampukah Angeline melawan atau menerima begitu saja
perlakuan kejam seperti itu? Sederet pertanyaan yang tak berujung, tapi
sudahlah ..... yang pasti pelaku pembunuh Angeline adalah orang dewasa, bukan
anak-anak teman sebayanya.
Apakah kelak ditemukan atau tidak siapa dalang semua kejadian
yang menimpa dirinya sama sekali tidak ada manfaatnya untuk Angeline seorang.
Kepergiannya yang penuh luka dan keringat darah, sepenuhnya menjadi urusan dan
tanggung jawab manusia hidup yang
tinggalkannya. Benar Angeline kini sudah berhenti menangis, tenang dan
damai berada dipangkuan Tuhan di surga.
Kejadian memilukan masih banyak Angeline lain di muka
bumi ini mendapat perlakuan yang sama, namun
tidak terungkap dan tidak sehoboh kasus Angeline yang banyak menyedot perhatian
masyarakat. Muhammad Syahwal, bocah 5 tahun, warga Jayapura. Begitu trauma
bahkan tidak mau lagi bertemu dengan kedua orangtua kandungnya sendiri. Ini
juga tergolong sadis. Pelakunya orangtua kandung sendiri. Syukur Syahwal tidak
sempat menghembuskan nafasnya.
Jika anak dibesarkan dengan
celaan ;
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan
permusuhan ;
Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan
cemohan ;
Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan
hinaan ;
Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan
toleransi ;
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan
dorongan ;
Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan
pujian ;
Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan
sebaik-baiknya perlakuan ;
Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan
rasa aman ;
Ia belajar menaruh
kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan
dukungan ;
Ia belajar menyenangi
dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan
kasih sayang dan persabatan ;
Ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan.
Demikian pena Dorothy berbicara yang
masih relevan untuk direnungkan bersama. Angeline meninggalkan sejuta pesan
penting bagi kita agar selalu lebih peduli kepada lingkungan terdekat kita,
dengan harapan tidak ada lagi ditemukan Angeline serupa yang mendapat perlakuan
yang tidak seharusnya.
Kesempatan mencoba melarikan diri ke rumah tetangga atau
menyampaikan keluhan kepada guru didiknya di sekolahnya tak pernah terpikirkan
dalam benak Angeline, kecuali Angeline hanya mengorbankan perasaannya dan
menerima hidup apa adanya tanpa pernah mengeluh kepada siapapun.
Kepada para orangtua yang sangat rentan dengan
kebiasaan-kebiasaan kekerasan fisik dan psikis terhadap anak, sadarlah. Karena
anda tidak pernah tahu kapan anda akan kehilangan orang yang anda cintai.
Gunakan sisa hidup anda dengan sepenuhnya dengan kebaikan. Jangan sampai anda
baru menyadari betapa anda mencintainya setelah kehilangan.
Penulis adalah Advokat tinggal di Medan.
E-Mail : uratta.gins@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar