Kamis, 17 September 2015

KASUS PIDANA NENEK ASYANI


Pentingnya Hati Nurani Dalam Kasus Nenek Asyani

Ratapan, isak tangis dan cucuran air mata nenek Asyani dihadapan majelis Hakim PN Situbondo, beberapa waktu lalu, tidak dapat mengubah nasibnya sebagai terdakwa dalam perkara pencurian kayu jati milik PT Perhutani.

Karena diyakini bersalah mencuri, PN Situbondo akhirnya menjatuhkan vonis terhadap nenek Asyani selama 1 tahun masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukum percobaan.

Dalam perkara ini, seandainya kita semua  berkeyakinan sama. Perbuatan itu benar adanya dilakukan nenek Asyani. Penegakan hukum yang dilakukan apakah sudah tepat dan benar tanpa mengorbankan keadilan? Jika hati nurani tetap tertutup rapat untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi, justeru keadilan yang diharapkan berubah menjadi ketidakadilan.

Dapat dipahami dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sering hanya sebatas omongan belaka “lips service politik” tanpa dibarengi praktek dalam kehidupan nyata.

BUKAN ALASAN
Persoalan yang dihadapi nenek Asyani adalah masalah kehidupan dalam usianya yang sudah tua renta, sejatinya tidak lain ingin tenang menjalani sisa hidupnya tanpa terbebani persoalan berat yang tidak dipahaminya apa itu ilegal loging.
 
Tetapi, bukan alasan usia ujur nenek asyani bebas melakukan pelanggaran hukum. Dalam asas hukum disebut semua manusia sama dihadapan hukum.  “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang” (pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang KekuasaanKehakiman).                                                                                                                                                                                                                                                        
Jika terbukti benar nenek Asyani melakukan perbuatan mencuri kayu, tentunya tidak ada maaf bagi hukum. Sama halnya kisruh yang terjadi antara Polisi dengan KPK, kita dapat melihat sendiri filsafat hukum apa yang dianut.
 
Kejahatan yang dituduhkan polisi terhadap 2 orang pimpinan KPK: AS dan BW ancamannya tergolong ringan, tidak sebanding dengan dugaan rekening gendut miliaran rupiah milik seorang jenderal polisi yang dicurigai KPK. 

Dalam kaitan ini juru bicara kepolisian waktu itu dengan santai berkata, bahwa hukum adalah hukum. Sekecil apapun pelanggaran hukum, tetap harus dihukum. AS dan BW ketika ditetapkan tersangka, presiden menonaktifkan keduanya sebagai pimpinan KPK. (ForumKeadilan,No.41,tanggal,01032015,hal.98).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
Itu berarti usia bukan alasan seseorang tidak dapat dijerat hukum, lain halnya, bukti-bukti dalam perkara nenek Asyani tidak mendukung dakwaan jaksa, karena adanya faktor lain diluar hukum, perkaranya terlalu dipaksakan atau hasil rekayasa, tentunya menjadi sebuah pembahasan serius. Lagi pula nenek Asyani bukan tertangkap tangan menjual kayu ditempat gelap, tetapi kayu miliknya hanya dipergunakan untuk keperluan peribadi membuat perabot rumah tangga. 

Jika hati nurani tidak lagi berfungsi tidak peduli siapapun berbohong. Berkas yang sudah jadi wajib diadili dan dijatuhi hukuman. Sehingga tak dapat dipungkiri peradilan sesat sering terjadi kemudian (menghukum berat orang yang tidak tahu apa-apa).
 
Menurut sumber media 2 buah balok kayu jati milik PT Perhutani ditanam 1974 dinyatakan hilang. Setelah disisir oleh pihak Perhutani ditemukan kayu dimaksud di rumah Cipto (tukang kayu) tetangga nenek Asyani.

Sedangkan versi nenek Asyani, kayu tersebut adalah miliknya yang diambil dari ladang sendiri 5 tahun silam oleh suaminya saat masih hidup. Awal masalahnya, nenek Asyani setelah memiliki uang cukup untuk ongkos tukang kayu membuat perabot rumah tangga, polisi melakukan tindakan penangkapan terhadap nenek Asyani karena adanya laporan pencurian kayu.

Jika pengusutan bukti itu dipersoalkan yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan kayu berton-ton hilang tidak diusut, masyarakat patut heran, ada apa nenek Asyani malah diminta pertanggungjawaban hukum dan divonis bersalah mencuri, apalagi tujuan penegakan hukum agar nenek Asyani dalam sisa hidupnya tidak lagi mengulangi  perbuatannya.

IRAH-IRAH PUTUSAN     
Masalah adil atau tidak urusan lain, penting vonis dulu. Bila itu filsafat hidup yang dianut, nyatalah betapa irah-irah putusan “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Esa” tidak mencapai sasaran.

Persoalan keadilan mestinya harus ditarik terlebih dahulu kepada diri kita sendiri. Seandainya kita berada dipihak yang lemah berhadapan dengan penguasa, maka hukum seperti pisau : tajam kebawah, tumpul keatas. Pihak yang lemah jika berhadapan dengan penguasa akan sulit berkata sebenarnya karena bernafas saja sudah sesak ketakutan. Sehingga kata yang terucap sering tak dapat dimengerti; bahkan dituding memberi keterangan yang berbelit-belit.
 
Tidak mungkin nenek Asyani yang sudah ujur mampu sendirian menebang kayu. Hendaknya orang yang terlibat langsung melakukan perbuatan melanggar hukum, seyogyanya harus semua diringkus untuk terangnya suatu kasus. Sebab kayu yang ditebang 5 tahun silam dengan kasat mata terlihat jelas perbedaannya yang ditebang dalam hitungan bulan. 

Kecuali kayu semula yang ditemukan di rumah tukang kayu Cipto (tetangga) Asyani diam-diam diganti kayu lebih baru, ini namanya rekayasa hukum. Apalagi saksi meringankan terdakwa Asyani tidak pernah diberi kesempatan memberi keterangan karena dianggap tidak ada relevansinya. Sehingga apa  yang terjadi sebenarnya tak mungkin terungkap sampai kapanpun, kecuali   menambah penderitaan nenek Asyani semakin tak berdaya manahan ketidakadilan.

Riuhnya penegakan hukum belakangan ini menguras perasaan publik. Dari Nias Vonis mati terhadap anak dibawah umur terjadi di PN Nias Sumut (Forum Keadilan, No. 45, 29 Maret  2015, hal. 26). Pada hal  pasal 6 UU No. 11 Tahun 2012, jelas menyatakan “Setiap anak dalam proses peradilan pidana tidak boleh dijatuhi hukuman mati.” 

Model penegakan hukum sekarang ini amat menakutkan. Bisa jadi abang becak yang tidak tahu apa-apa  sewaktu-waktu terancam vonis mati gara-gara  dua orang penumpangnya membawa sabu 1 ons tertulis 15 kg. Becak sewaan milik orang lain disita sebagai barang bukti. Penumpangnya sebelum bayar sewa, duluan sudah kabur menyelamatkan diri. Risiko hukumnya tinggallah sendiri abang becak.
 
Jadi, menurut hemat penulis, nenek Asyani tidak perlu menangis lagi. Hapuslah air matamu. Nenek Asyani harus menerima apa adanya. Syukur tidak divonis mati.

Kata Tuhan, bila manusia sudah tidak mendengar bisikan hati nuraninya, bilamana telinganya sudah tidak berfungsi, bila matanya sudah dibutakan, manusia akan lebih jahat daripada binatang. Binatang hidup untuk mengisi perutnya bila lapar. Manusia yang dibekali akal dan hati nurani ternyata masih suka berbuat keji dan kejam. Filsafat ke-AKU-an membuatnya kehilangan belas kasihan (Bismar Siregar, “Catatan Bijak” 1999:29).

Dengan demikian, semakin mendukung keberanan dalil ini bahwa sebahagian peristiwa hukum, masyarakat memaknai hukum itu seperti  “pisau;” tajam untuk masyarakat kelas bawah dan tumpul saat berhadapan dengan masyarakat kelas atas (penguasa).

Penulis : Uratta Ginting, Advokat tinggal di Medan.
Fb.Sinisuka Uratta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar