Pentingnya Hati Nurani Dalam Kasus Nenek
Asyani
Ratapan, isak tangis dan cucuran air mata nenek Asyani
dihadapan majelis Hakim PN Situbondo, beberapa waktu lalu, tidak dapat mengubah
nasibnya sebagai terdakwa dalam perkara pencurian kayu jati milik PT Perhutani.
Karena diyakini
bersalah mencuri, PN Situbondo akhirnya menjatuhkan vonis terhadap nenek Asyani
selama 1 tahun masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1
hari hukum percobaan.
Dalam perkara ini, seandainya kita semua berkeyakinan sama. Perbuatan itu benar adanya
dilakukan nenek Asyani. Penegakan hukum yang dilakukan apakah sudah tepat dan
benar tanpa mengorbankan keadilan? Jika hati nurani tetap tertutup rapat untuk
melihat apa sebenarnya yang terjadi, justeru keadilan yang diharapkan berubah
menjadi ketidakadilan.
Dapat dipahami dasar negara Pancasila dan UUD 1945
sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sering hanya sebatas
omongan belaka “lips service politik” tanpa dibarengi praktek dalam kehidupan
nyata.
BUKAN
ALASAN
Persoalan
yang dihadapi nenek Asyani adalah masalah kehidupan dalam usianya yang sudah
tua renta, sejatinya tidak lain ingin tenang menjalani sisa hidupnya tanpa
terbebani persoalan berat yang tidak dipahaminya apa itu ilegal loging.
Tetapi, bukan alasan usia ujur nenek asyani bebas
melakukan pelanggaran hukum. Dalam asas hukum disebut semua manusia sama
dihadapan hukum. “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membedakan orang” (pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004 Tentang KekuasaanKehakiman).
Jika terbukti benar nenek Asyani melakukan perbuatan
mencuri kayu, tentunya tidak ada maaf bagi hukum. Sama halnya kisruh yang
terjadi antara Polisi dengan KPK, kita dapat melihat sendiri filsafat hukum apa
yang dianut.
Kejahatan yang dituduhkan polisi terhadap 2 orang pimpinan
KPK: AS dan BW ancamannya tergolong ringan, tidak sebanding dengan dugaan
rekening gendut miliaran rupiah milik seorang jenderal polisi yang dicurigai
KPK.
Dalam
kaitan ini juru bicara kepolisian waktu itu dengan santai berkata, bahwa hukum
adalah hukum. Sekecil apapun pelanggaran hukum, tetap harus dihukum. AS dan BW
ketika ditetapkan tersangka, presiden menonaktifkan keduanya sebagai pimpinan
KPK. (ForumKeadilan,No.41,tanggal,01032015,hal.98).
Itu berarti usia bukan alasan seseorang tidak dapat
dijerat hukum, lain halnya, bukti-bukti dalam perkara nenek Asyani tidak
mendukung dakwaan jaksa, karena adanya faktor lain diluar hukum, perkaranya
terlalu dipaksakan atau hasil rekayasa, tentunya menjadi sebuah pembahasan
serius. Lagi pula nenek Asyani bukan tertangkap tangan menjual kayu ditempat
gelap, tetapi kayu miliknya hanya dipergunakan untuk keperluan peribadi membuat
perabot rumah tangga.
Menurut sumber media 2 buah balok kayu jati milik PT
Perhutani ditanam 1974 dinyatakan hilang. Setelah disisir oleh pihak Perhutani
ditemukan kayu dimaksud di rumah Cipto (tukang kayu) tetangga nenek Asyani.
Sedangkan versi nenek Asyani, kayu tersebut adalah
miliknya yang diambil dari ladang sendiri 5 tahun silam oleh suaminya saat
masih hidup. Awal masalahnya, nenek Asyani setelah memiliki uang cukup untuk
ongkos tukang kayu membuat perabot rumah tangga, polisi melakukan tindakan
penangkapan terhadap nenek Asyani karena adanya laporan pencurian kayu.
Jika pengusutan bukti itu dipersoalkan yang jumlahnya
tidak seberapa dibandingkan dengan kayu berton-ton hilang tidak diusut,
masyarakat patut heran, ada apa nenek Asyani malah diminta pertanggungjawaban
hukum dan divonis bersalah mencuri, apalagi tujuan penegakan hukum agar nenek
Asyani dalam sisa hidupnya tidak lagi mengulangi perbuatannya.
IRAH-IRAH
PUTUSAN
Masalah
adil atau tidak urusan lain, penting vonis dulu. Bila itu filsafat hidup yang
dianut, nyatalah betapa irah-irah putusan “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang
Esa” tidak mencapai sasaran.
Persoalan
keadilan mestinya harus ditarik terlebih dahulu kepada diri kita sendiri.
Seandainya kita berada dipihak yang lemah berhadapan dengan penguasa, maka hukum
seperti pisau : tajam kebawah, tumpul keatas. Pihak yang lemah jika berhadapan
dengan penguasa akan sulit berkata sebenarnya karena bernafas saja sudah sesak
ketakutan. Sehingga kata yang terucap sering tak dapat dimengerti; bahkan
dituding memberi keterangan yang berbelit-belit.
Tidak mungkin nenek Asyani yang sudah ujur mampu sendirian
menebang kayu. Hendaknya orang yang terlibat langsung melakukan perbuatan melanggar
hukum, seyogyanya harus semua diringkus untuk terangnya suatu kasus. Sebab kayu
yang ditebang 5 tahun silam dengan kasat mata terlihat jelas perbedaannya yang
ditebang dalam hitungan bulan.
Kecuali kayu semula yang ditemukan di rumah tukang kayu
Cipto (tetangga) Asyani diam-diam diganti kayu lebih baru, ini namanya rekayasa
hukum. Apalagi saksi meringankan terdakwa Asyani tidak pernah diberi kesempatan
memberi keterangan karena dianggap tidak ada relevansinya. Sehingga apa yang terjadi sebenarnya tak mungkin terungkap
sampai kapanpun, kecuali menambah
penderitaan nenek Asyani semakin tak berdaya manahan ketidakadilan.
Riuhnya penegakan hukum belakangan ini menguras perasaan
publik. Dari Nias Vonis mati terhadap anak dibawah umur terjadi di PN Nias
Sumut (Forum Keadilan, No. 45, 29 Maret
2015, hal. 26). Pada hal pasal 6
UU No. 11 Tahun 2012, jelas menyatakan “Setiap anak dalam proses peradilan
pidana tidak boleh dijatuhi hukuman mati.”
Jadi, menurut hemat penulis, nenek Asyani tidak perlu
menangis lagi. Hapuslah air matamu. Nenek Asyani harus menerima apa adanya.
Syukur tidak divonis mati.
Kata Tuhan, bila manusia sudah tidak mendengar bisikan
hati nuraninya, bilamana telinganya sudah tidak berfungsi, bila matanya sudah
dibutakan, manusia akan lebih jahat daripada binatang. Binatang hidup untuk
mengisi perutnya bila lapar. Manusia yang dibekali akal dan hati nurani
ternyata masih suka berbuat keji dan kejam. Filsafat ke-AKU-an membuatnya
kehilangan belas kasihan (Bismar Siregar, “Catatan Bijak” 1999:29).
Dengan demikian, semakin mendukung keberanan dalil ini
bahwa sebahagian peristiwa hukum, masyarakat memaknai hukum itu seperti “pisau;” tajam untuk masyarakat kelas bawah
dan tumpul saat berhadapan dengan masyarakat kelas atas (penguasa).
Penulis : Uratta Ginting, Advokat tinggal di Medan.
E-Mail : uratta.gins@gmail.com
Fb.Sinisuka Uratta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar