Kamis, 06 Juli 2017

HUKUM TABUR TUAI



DAVID DINKINS 

Tahun 1990-an, satu2nya pejabat negara dari kulit hitam, pernah memangku jabatan bergengsi sebagai Walikota New York, namanya David Dinkins.

Pejabat yang penuh wibawa dan dihormati oleh semua warganya, sehingga setiap kali sang Walikota berpidato, semua warga setia mendengar dan mematuhi hal2 yang disampaikan.
Salah satu pidatonya, tersebutlah nama seorang pria mantan kekasih istrinya, tentunya sebelum mereka menjadi pasangan suami istri.
Ketika Bapak Walikota bersama Nyonya keliling kota dengan mengendarai mobil dinasnya. Tiba2 ia melihat seorang pria yang sedang banting tulang, berpeluh keringat, pakaian tak karuan, kotor, lagi bekerja sebagai tukang bangunan. Pria inilah mantan kekasih sang istri.

Sang suami (David Dinkins) lalu menggoda istrinya, mengatakan, "Kamu pasti bangga karena sekarang sedang berada di dalam sebuah mobil mewah bersama suami ( Walikota ), dan bukan bersama pria tukang bangunan di pinggir jalan.
Diluar dugaan suaminya, istri spontan menjawab, "Aku rasa jika aku menikah dengannya, maka ia yang duduk di dalam mobil mewah ini bersamaku."

Seorang anak manusia menjadi orang besar dan sukses oleh karena adanya dukungan dari Orang2 sekitar, terutama sekali dari dukungan istri tercinta. Karena istri seorang penolong di kala suka dan duka.
 
Anak manusia menjadi orang besar dan sukses yang nyata2 mengabaikan peran istri, apalagi Tuhan, maka jenis anak manusia demikian adalah tergolong manusia paling sombong di muka bumi ini. Sinisuka Uratta


https://www.facebook.com/rsrc.php/v3/yf/r/g_kf1vXYV_O.png
MALAM KUDUS
Tercipta Gara-Gara Organ Rusak
Tahun 1818 di sebuah Desa terpencil yang jauh dari keramaian namanya Desa Obendorf, Austria tempat pertama kali lagu Natal Malam Kudus berkumandang.
Malam Kudus tercipta bertepatan menjelang malam hari Natal, jemaat gereja setempat ketika itu boleh dibilang agak kecewa karena organ gereja yang biasa digunakan tiba-tiba rusak, tidak dapat dipakai untuk mengiringi lagu nyanyian pada malam Natal itu.
Hanya karena kerusakan organ itu pula menjadi peneyebab utama tersebarnya ke seantro dunia lagu Malam Kudus.
Lagu Malam Kudus, judul aslinya “STILLE NACHT” karya Joseph Mohr, tercipta menjelang Natal tanggal 24 Desember 1818 dalam suasana sejuk, sunyi, tenang yang ditimbulkan oleh salju semalam sebelumnya.
Lagu tersebut Joseph bermaksud untuk dinyanyikan pada tanggal 25 Desember 1818 malam tanpa diiringi sebuah organ karena rusak.
Pencipta lagu tersebut Joseph begitu selesai membuat syair lagu Malam Kudus, ia bergegas menemui Frans Gruber, seorang organis Gereja yang ahli soal musik.
Fransi Gruber benar seorang ahli musik karena dalam waktu singkat langsung tercipta musik yang sangat selaras dengan syair yang baru dibuat oleh Joseph. Namun, organ yang biasa digunakan di Gereja itu tiba-tiba rusak, pada hal Natal hanya tinggal beberapa jam lagi.
Tanpa mengurangi makna Natal malam itu, Malam Kudus tetap dinyanyikan tanpa diiringi organ, namun digantikan sebuah gitar, Joseph Mohr menyanyikan suara tenor sambil memetik gitar dan Frans Gruber menyanyikan Bas dibantu koor beberapa orang gadis (Gereja GBKP disebut “Permata”).
Dunia mungkin tidak akan kenal lagu Malam Kudus, demikian juga Malam Kudus tidak akan berkumandang luas di muka bumi ini, tanpa kehadiran seorang tukang reparasi organ, warga desa tetangga yaitu Desa Ziller. Siapa tukang reparasi organ tersebut sayangnya tidak ada yang mencatat namanya. Justru tukang organ itulah sebenarnya mempopulerkan lagu Malam Kudus ke seluruh dunia.
Lagu Malam Kudus pada awalnya diperkenalkan oleh tukang reparasi organ di Gereja desanya sendiri, Ziller.
Melalui koor dari Gereja Desa Ziller di Pekan Raya bertempat di Leipzig mereka menyanyikan lagu Malam Kudus. Dari Pekan Raya di Leipzig inilah menyebar keseluruh penjuru Jerman dan Austria hingga ke Indoneisa pada tahun 1840. Lagu Malam Kudus dalam Kidung Jemaat telah terukir nama Joseph Mohr dan Frans Xaver Gruber, 1818, seorang Asisten Pendeta dan seorang guru SD merangkap organis Gereja.
Selamat Natal 25 Desember 2015. Tuhan memberkati.
Catatan : Sinisuka Uratta. 




https://www.facebook.com/rsrc.php/v3/yf/r/g_kf1vXYV_O.png
HUKUM TABUR TUAI TIDAK PERNAH BERUBAH 

Menabur kebaikan sudah tentu yang akan dituai adalah kebaikan. Sama halnya dengan menanam benih jagung, yang akan dituai adalah jagung bukan kelapa.
Banyak menabur kebaikan, tentu banyak pula kebaikan yang akan dituai. Sebaliknya banyak menabur kejahatan, yang dituai tidak lain juga kejahatan. 

Semuanya adalah masalah pilihan. Tuhan memberi kebebasan memilih. Kapan dituai adalah waktunya Tuhan, bukan waktu manusia.

Menabur kebaikan pernah dilakukan seorang pemuda dengan cara menolong seorang pemuda sebayanya yang cukup mendesak ditolong karena nyawanya terancam.
Pemuda yang terancam jiwanya ini tengah berjuang menyelamatkan diri keluar dari lumpur. Tubuhnya tampak perlahan ditelan lumpur setiap kali bergerak, teriakannya minta tolong didengar pemuda sebayanya, lalu dijulurkan sepotong kayu sebagai pegangan untuk ditarik perlahan ke pinggiran. Akhirnya selamat.

Tidak sampai disitu saja, pemuda yang telah memberi pertolongan itu membawanya pulang ke rumah orangtuanya, ternyata seorang Bangsawan pemilik sebuah rumah besar serba mewah.
Ayahnya orang kaya itu lalu menawarkan sejumlah uang kepada pemuda yang telah menolong anaknya. Anehnya, biarpun miskin malah ia menolak pemberian Bangsawan yang kaya itu.
Bangsawan tidak habis akal lalu memberinya bea siswa, karena kebetulan cita2 pemuda miskin tersebut menjadi seorang Dokter terkenal.

Pemuda miskin akhirnya tercapai juga cita2nya menjadi Dokter terkenal. Karena itu pula ia sepenuh hati mengabdikan dirinya menolong siapa saja yang sedang sakit.
Seiring berjalannya waktu, kedua pemuda tersebut beranjak dewasa.

Pemuda yang telah memberi kebaikan dengan cara menolong teman sebayanya telah menjadi seorang sarjana, nama lengkapnya, Dokter FLEMING, penemu obat Pennicilin. Sedang pemuda anak Bangsawan menjadi seorang Militer yang gagah.

Namun, putra Bangsawan dalam suatu tugas di medan perang mengalami luka parah mengakibatkan tubuhnya deman tinggi karena infeksi. Baginya, tidak ada harapan lagi sembuh. 

Pada waktu itu, obat paling mujarab mengobati infeksi masih langka di seluruh negaranya, kecuali obat baru, Pennicilin, hasil temuan Dokter FLEMING.

Obat baru hasil temuan Dokter FLEMING pun disuntikkan, ternyata perlahan sembuh total. Nama lengkap anak Bangsawan tersebut adalah WINSTON CHURCHIL, mantan Perdana Menteri Inggris yang terkenal itu.

Hukum menabur dan menuai disini, seorang pemuda miskin menabur kebaikan, menuai seorang Dokter berkat kemurahan hati seorang Bangsawan yang memberinya bea siswa. Selain itu Fleming telah menemukan obat yang menyelamatkan jiwa Churchil.

"Jangan kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai." (Gal.6:9).

Salam hormat. Sinisuka Uratta.


Sabtu, 19 November 2016

PUTUSAN SERTA MERTA

Putusan Serta Merta, dari segi Hukum dan Keadilan Oleh: Uratta Ginting Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum Banding, Kasasi atau Perlawanan oleh pihak Tergugat atau oleh pihak Ketiga yang dirugikan. Kita tahu bahwa peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang memeriksa pokok perkara. Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja. Putusan uitvoerbaar bij voorrrad tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering menimbulkan berbagai masalah. Oleh karenanya Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang mengatur tentang tata cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan tersebut. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya jaminan yang nilainya sama dengan barang / benda objek eksekusi. Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIRdan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta. Bahwa selain pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan provisionil dan permintaan putusan serta-merta. Adapun dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut Surat Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 adalah : 1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak dibantah kebenarannya oleh pihak Lawan ; 2. Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah ; 3. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana hubungan sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang baik ; 4. Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan putusannya telah inkracht van gewijsde; 5. Dikabulkannya gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv, dan ; 6. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ; Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan uitvoerbaar bij voorraad sepanjang hal itu memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini Hakim masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain. Apalagi kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya. Masalahnya menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang sehingga jelas pihak Tergugat/Termohon telah diperlakukan tidak adil. Selama upaya hukum berjalan Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin bahwa bangunan yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi Pihak Ter-eksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ). Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat Pengadilan yang bersangkutan yang ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta dan Provionil.

APAKAH ADA KEKEBALAN HUKUM ADVOKAT

Hak Imunitas Advokat Dua rekan Advokat yang diadili di PN Surabaya sebagai terdakwa dengan dugaan pemalsuan surat dan fitnah. Berbeda kontras masalahnya dengan yang dihadapi oleh dua rekan Advokat sebagai Penasihat Hukum pedangdut kondang ibu kota, “SJ” dalam perkara cabul anak dibawah umur. Dalam “OTT” KPK pada Rabu, 15 Juni 2016, diataranya dua rekan Advokat “BNK” dan “KS” bersama “R” seorang pejabat penting PN Jakarta Utara, masing-masing telah ditetapkan sebagai tersangka suap. KPK mengamankan uang tunai Rp 250 juta dalam OTT tersebut yang diduga sebagai suap terkait dengan pengurangan pidana penjara agar tidak terlalu lama dijatuhkan kepada SJ. Sedang kasus yang menimpa rekan Advokat di Surbaya lain lagi, hak imunitas; “Advokat tidak boleh dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya ....” (pasal 16 UU Adovokat 2013) justru lebih relevan dipersoalkan, karena surat kuasa yang dimiliki masih dijalankan dengan itikad baik menurut koridor hukum yang berlaku. Dua Rekan Advokat yang tejaring dalam OTT KPK belum lama ini, hak imunitas dan kekebalan hukum tidak ada pada diri setiap Advokat yang melakukan pelanggaran hukum. Setiap warga negara sama saja dihadapan hukum. Oleh karena itu, jika terlalu memaksakan kehendak agar keadilan tetap berpihak kepada yang bersalah adalah suatu pekerjaan yang terlalu berisiko dan berbahaya. Risiko tersebut telah sampai di pangkuan dua rekan Advokat. Kiranya mampu menyadarkan kita, bahwa Advokat paling senior seorang “Prof” juga tidak mampu meloloskan dirinya sendiri dari ancaman pidana tipikor. Apalagi salah seorang Advokat yang terjaring dalam OTT tersebut menurut catatan media adalah pasangan suami istri seorang Hakim Tinggi, profesi yang mulia, pernah bertugas di PT Medan. Rasanya dari segi materi sudah cukup jika Advokat bersangkutan menjalankan profesi terhormat itu selalu berupaya menghindari risiko besar tersebut. Hidup ini hanya singgah sebentar di bumi yang fana ini. Meski telah disepakati tidak ada manusia sempurna. Tapi, apa sesunggahnya yang kita cari .... ? (Uratta Ginting)

Minggu, 17 Juli 2016

DAGANG HUKUM

Penegak Hukum dan Dagang Hukum
Oleh Uratta Ginting SH.

Konstitusi mengamanatkan pengadilan adalah tempat warga mencari keadilan dan setiap konflik yang terjadi tidak dibenarkan penyelesaiannya dilakukan dengan cara main hakim sendiri. Konon tantangan terbesar yang dihadapi bangsa ini saat sekarang adalah seputar penegakan hukum.

Menyebut nama pengadilan belakangan ini cukup banyak menyedot  perhatian masyarakat luas. Bukan karena unsur keberanian pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan narkoba. Melainkan karena adanya praktek permainan transaksi (dagang gelap) hukum justru melibatkan oknum penegak hukum sebagai pejabat tinggi negara.

Saat-saat KPK begitu gencar memberantas korupsi di tanah air yang didukung oleh masyarakat umumnya sampai ada wacana revisi UU KPK pun sejak awal telah dicurigai banyak kalangan hanya dianggap sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah ini.

Dagang Keadilan
Pembicaraan seputar penegakan hukum menjadi topik menarik tidak terlepas dari wajah  para pelakunya yang kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang terhormat dan dari segi finansial cukup mampu. Tidak mungkin anak istri oknum tersebut terlantar tanpa korupsi. Sama sekali tidak!

Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Prov Bengkulu, JP dan Hakim T diciduk KPK (24/05) terkait kasus korupsi diduga menerima suap Rp 650 juta. KPK menyita satu unit mobil Fortuner milik JP tersebut dan sejumlah uang Rp 500 juta ditemukan di rumah dinasnya.

Adanya praktek dagang hukum di semua lini penegak hukum khususnya di lingkungan peradilan hinga Mahkamah Agung seperti mengurai benang kusut.

Penangkapan Panitera PN Jakarta Pusat, yang kemudian menyeret Sekretaris Mahkamah Agung  karena diduga menerima aliran dana dari konglomerat besar Rp 1,7 miliar adalah membuktikan senyalemen itu.
“R” inisial sekretaris Mahkamah Agung bersama sopirnya, sempat menyulitkan penyidik KPK untuk melakukan pengusutan perkara lebih lanjut karena MA sempat angkat tangan karena tidak tahu dimana gerangan mereka berada. Apakah ini bentuk perlindungan terhadap bawahan atas kejaran KPK, mudah-mudahan juga tidak.

Kasus serupa belum lama ini, kita kembali dikejutkan kasus suap Panitera PN Jakarta Utara, kali ini menyeret dua orang pengacara dan seorang pemberi suap dalam kasus cabul anak dibawah umur.

Dalam OTT KPK (15/06) ditemukan uang tunai Rp 250 juta dari tangan “R” panitera pengadilan setempat. Menurut catatan media panitera tersebut adalah pemilik asset yang cukup banyak. Mungkin berimbang dengan catatan sejarah KPK terbesar harta seorang koruptor “MN”  yang dirampas untuk negara senilai Rp 550 miliar (Sib.17/06).

Demi tegaknya hukum agar tidak terlalu gampang dipermainkan, menyangkut majelis hakim yang memutuskan perkara cabul tersebut, apakah turut menerima aliran dana suap, agaknya perlu dilakukan pendalaman yang lebih serius.

Sulit
Proses perkara yang begitu panjang dan melelahkan membutuhkan pikiran, tenaga terlebih uang karena berperkara di pengadilan tidak ada yang gratis.
Dalam perkara perdata, misalnya, dari tingkat pengadilan pertama hingga pengadilan negara tertinggi: MA. Pencari keadilan selalu bersentuhan dengan uang (biaya). Contoh sederhananya, Tergugat kadang kala tidak diketahui dimana berada. Pencari keadilan (Penggugat) harus mengeluarkan biaya untuk pemanggilan Tergugat via iklan koran sebanyak 3 kali dalam hitungan bulan untuk setiap kali panggilan hingga pemberitahuan putusan. PK juga memerlukan biaya, meletakkan sita, apalagi eksekusi yang selalu terancam gagal tidak terlepas urusannya menyangkut sejumlah uang.

Sehingga sulit sebenarnya menghindari praktek dagang gelap hukum ini karena disamping pencari keadilan juga  selalu bersentuhan  langsung dengan urusan biaya proses perkara hingga perkara selesai, sehingga timbulnya praktek dagang gelap hukum tak terlepas sumbernya  dari pencari keadilan itu sendiri. Apalagi signal kesempatan tersebut berasal dari kalangan orang dalam bahkan  kuasa hukum (Pengacara) dalam menangani  setiap perkara harus menang dan biayanya dibebankan kepada pencari keadilan.

Gebrakan yang dilakukan oleh KPK sudah cukup memadai dalam penegakan hukum dalam memberantas korupsi di Tanah Air Indonesia. Masalah efek jera bagi pelaku-pelaku korupsi dan meminimalkan calon pelaku korupsi berikutnya adalah tugas bersama bangsa, setidaknya katakan NO Korupsi mulai dari diri sendiri.

Penulis : Uratta Ginting SH, Advokat, tinggal di Medan
E-Mail   : uratta_ginting@yahoo.com

WANPRESTASI DAN PENIPUAN

Mencermati  Wanprestasi Sebagai Penipuan
Oleh Uratta Ginting SH

            Menusia adalah makhluk sosial. Itu sudah kodrat, bahwa manusia tak mungkin hidup sendirian. Manusia hidup berkelompok karena sesama manusia pada dasarnya saling membutuhkan.
            Agar dalam lalu lintas pergaulan tidak terjadi benturan kepentingan, maka diperlukan hukum untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan kelompok tersebut.  Jika seseorang  untuk keperluan pengembangan usahanya membutuhkkan kucuran dana segar berupa pinjaman kepada seseorang yang mampu memberi pinjaman adalah suatu bukti bahwa manusia betapa hebatnya pun tidak mampu hidup sendirian.
            Dalam setiap hubungan hukum yang terjadi timbul hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan atas dasar itikad baik. Katakanlah urusan pinjam-meminjam uang tersebut sudah disepakati akan dikembalikan paling lambat 12 (dua belas) bulan ditambah sejumlah bunga yang dibayarkan perbulannya.
            Persoalannya menjadi lain jika si peminjam uang tersebut tidak mengembalikannya kepada pemilik uang setelah           12 (dua belas) bulan berlalu. Menurut hukum sipeminjam disebut wanprestasi karena tidak memenuhi prestasi sesuai yang telah disepakati sebelumnya.
            Bisa jadi pemilik uang begitu kesal menghadapi tingkah si peminjam yang selalu mengulur waktu membayar pinjamannya dengan berbagai dalih. Sehingga timbul niat kreditur (pemilik uang) menyerahkan persoalannya kepada pihak berwajib meskipun hubungan hukum antara mereka atas dasar perjanjian adalah ranah hukum perdata, bukan pidana.
Wanprestasi
            KUHPerdata tidak memberi batasan yang jelas tentang wanprestasi. Dalam prakteknya wanprestasi sering juga disebut “Cidra janji atau ingkar janji.” Namun, para ahli hukum Indonesia memberi rumusan seara garis besarnya, “Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik dan debitur punya unsur salah atasnya” (J. Satrio, 2011:3).
            Kata-kata adanya unsur salah pada debitur tersebut maksudnya karena tidak dipenuhinya kewajiban itu sebagaimana mestinya. Pada hal setiap perjanjian yang sah berlaku prinsip kejujuran sebagai syarat terbentuknya kesepakatan diantara mereka yang membuat perjanjian.
            Debitur atau sipeminjam kadang kala punya pengalaman tersendiri dalam berbisnis, sehingga menyadari betul implikasi tidak dipenuhinya isi perjanjian “sanksinya” hanya sebatas pembayaran ganti rugi dan hal itu baru dipenuhi jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila misalnya,  tidak ada juga itikad baik melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela. harus pula ditempuh melalui upaya eksekusi.
            Oleh karena itu, jalan satu-satunya menurut hukum untuk memaksa si peminjam yang telah wanprestasi agar segera memenuhi prestasinya tidak ada upaya hukum lain kecuali melalui gugatan perdata ke pengadilan.
            Namun, bukan rahasia bahwa menempuh jalur gugatan perdata memakan waktu panjang, tidak seperti awal pinjaman terjadi hanya butuh waktu singkat dan tidak rumit karena para pihak benar-benar memang telah sepakat.
            Dalam praktek penegakan hukum berkenan dengan perjanjian adalah sebagai ranah hukum perdata,  seseorang sering mencari jalan pintas untuk mendapatkan haknya kemballi dengan cara membuat laporan polisi dengan alasan pelapor adalah korban penipuan.
Sedang untuk menetapkan seorang menjadi tersangka sebagai tindak lanjut laporan seperti penangkapan dan penahanan terhadap seorang yang telah wanprestasi tersebut sepenuhnya adalah kewenangan yang dimiliki oleh penyidik polisi.
Penipuan (Bedrog)
            Apakah karena kreditur (pemilik uang) jengkel, buta hukum atau ingin  segera menerima uangnya kembali dengan utuh?
            Disinilah sering terjadi modus korban melapor pada polisi atas dasar penipuan (bedrog) sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP atau dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1328 BW.
            Meskipun awalnya adalah hubungan hukum perdata pinjam meminjam uang, dibuktikan dengan akta otentik atau dibawah tangan. Jika penyidik polisi menemukan dalam perjanjian adanya unsur rangkaian kata bohong, tipu muslihat dan keadaan palsu,  terlapor debitur dapat saja ditetapkan sebagai tersangka karena bersalah melakukan penipuan.
            Dalam jurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1885 K/Pid/2008, tanggal 3 Desember 2008, dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, bahwa perjanjian kerja sama lelang pengadaan kain dengan menggunakan nama sebuah CV ternyata Cv tidak pernah ada. Sementara korban telah menyetor dana kepada pemilik CV. Ketika lelang tidak terlaksana, uang diminta oleh korban, pihak CV menolak menyerahkan uang, perbuatan demikian diputuskan terbukti sebagai penipuan.
            Kasus jual beli rumah yang telah disepakati dan dituangkan tertulis dalam satu perjanjian. Namun, salah satu pihak wanprestasi (tidak melaksanakan prestasi seperti telah disepakati) akibatnya kerugian timbul pada pihak lain, lalu membuat laporan pada polisi.
            Dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1927 K/Pid/2007, tanggal 14 November 2007 kasus tersebut diputuskan  bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti melakukan penipuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Kendatipun ada pihak yang dirugikan menurut putusan MA terebut, maka pihak lain dapat mengajukan ganti kerugian, sebagaimana diatur Pasal 1919 BW.
            Kasus hutang dua orang pengusaha untuk keperluan pengembangan usaha telah berhutang kepada seseorang dengan jaminan giro bilyet. Dua pengusaha sampai batas waktu yang telah disepakati secara tertulis tidak membayar hutangnya kepada pemilik uang.
            Oleh karena pemilik uang telah berkali-kali memintanya kepada pengusaha tersebut, apalagi giro bilyet sebagai jaminan yang diberikan ternyata kosong, tanpa ada dananya di Bank yang ditunjuk. Akhirnya masalah piutang tersebut dilaporkan kepada polisi.
            PN Samarinda mengadili dalam perkara No.15/Pid/1991 memberikan putusannya yang amarnya berbunyi, “Perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran.” Selanjutnya membebaskan dua pengusaha tersebut dari tuntutan hukum. Sedang di tingkat banding, Pengadilan Tinggi menyatakan permohonan Jaksa tidak dapat diterima. Demikian juga pada tingkat kasasi, MA dalam putusannya No. 999 K/Pid/1982 menolak permohonan kasasi Jaksa.
            Persoalan semula adalah hutang yang belum tuntas. Namun, karena dua pengusaha yang pernah sebagai terdakwa menggugat pencemaran nama baiknya terhadap pemilik uang karena dianggap telah membuat pengaduan dengan fitnah (Pasal 317 KUHP).
Pengadilan telah pula menolak gugatan dua pengusaha berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 562 K/Sip/1973, perbuatan memasukkan pengaduan pada polisi untuk mempertahankan hak keperdataan, tidak termasuk perbuatan melawan hukum in casu  perbuatan fitnah seperti dimaksudkan pasal 1365 BW.
            Atau jika pengaduan polisi dianggap memfitnah – quod non—berdasarkan Pasal 1380 BW gugatan dua pengusaha telah kadaluarsa.
            Untuk menentukan seseorang telah wanprestasi apakah karena pura-pura lupa (lalai dalam Pasal 1238 BW) ataukah ada unsur disengaja tidaklah mudah untuk menentukan apakah ranah hukum perdata atau pidana penipuan.
            Menurut hemat penulis untuk mencermati kedua hal tersebut perlu pemahaman fakta juridis dan pembuktian terhadap fakta-fakta hukum berkaitan dengan “perbuatan sebelumnya” dan “perbuatan sesudah” perjanjian dibuat. Dengan demikian dapat memperjelas perbuatan mana dikategorikan sebagai wanprestasi (perdata) atau penipuan (pidana).
            Jika seorang mengikatkan diri kepada pihak lain dalam satu perjanjian tertulis tentang jual beli kayu. Akan tetapi, usai perjanjian ditandatangani belakangan diketahui pihak penjual kayu tersebut tidak pernah berurusan dengan kayu. Rasanya tidak adil jika penjual tersebut dinyatakan hanya wanprestasi (Pasal 1236 BW).
Karena salah satu pihak akibat perbuatan si penjual telah mengalami kerugian besar.  Bilamana salah satu pihak mengetahui keadaan sebenarnya dilandasi adanya kebohongan tipu muslihat, keadaan palsu tidak mungkin terjadi kesepakatan para pihak, karena kesepakatan adalah sebagai unsur paling utama dalam  jual beli kayu tersebut (Pasal 1320 BW).

            Penipuan (Bedrog) dalam hukum pidana (Pasal 378 KUHP) sebenarnya berbarengan dengan penipuan dalam hukum perdata (Pasal 1328 BW). Dua koridor hukum ini dapat ditempuh oleh orang yang merasa dirugikan sebagai akibat hubungan perjanjian yang dilandasi dengan tipu muslihat dan rangkaian kata bohong, keadan palsu terkait efek jera dengan sanksi pidana penjara. Kemudian penipuan menurut Pasal 1328 BW juga dapat ditempuh dengan cara mengajukan gugatan perdata terkait ganti kerugian.
            Meskipun antara wanprestasi dan penipuan, masing-masing berada dalam ranah hukum yang berbeda, namun tidak dapat saling dipertukarkan secara sembarangan dan sewenang-wenang.
            Karena bisa jadi maksud hati ingin menegakkan hukum justru mengorbankan keadilan itu sendiri; bahkan sekaligus melanggar HAM seseorang, sebagaimana bunyi Pasal 19 ayat (2) UU No. 39 Th 1999 Tentang HAM, menegaskan :
“Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.”      

Penulis adalah Uratta Ginting SH, Advokat, tinggal di Medan.