Minggu, 17 Juli 2016

DAGANG HUKUM

Penegak Hukum dan Dagang Hukum
Oleh Uratta Ginting SH.

Konstitusi mengamanatkan pengadilan adalah tempat warga mencari keadilan dan setiap konflik yang terjadi tidak dibenarkan penyelesaiannya dilakukan dengan cara main hakim sendiri. Konon tantangan terbesar yang dihadapi bangsa ini saat sekarang adalah seputar penegakan hukum.

Menyebut nama pengadilan belakangan ini cukup banyak menyedot  perhatian masyarakat luas. Bukan karena unsur keberanian pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan narkoba. Melainkan karena adanya praktek permainan transaksi (dagang gelap) hukum justru melibatkan oknum penegak hukum sebagai pejabat tinggi negara.

Saat-saat KPK begitu gencar memberantas korupsi di tanah air yang didukung oleh masyarakat umumnya sampai ada wacana revisi UU KPK pun sejak awal telah dicurigai banyak kalangan hanya dianggap sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah ini.

Dagang Keadilan
Pembicaraan seputar penegakan hukum menjadi topik menarik tidak terlepas dari wajah  para pelakunya yang kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang terhormat dan dari segi finansial cukup mampu. Tidak mungkin anak istri oknum tersebut terlantar tanpa korupsi. Sama sekali tidak!

Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Prov Bengkulu, JP dan Hakim T diciduk KPK (24/05) terkait kasus korupsi diduga menerima suap Rp 650 juta. KPK menyita satu unit mobil Fortuner milik JP tersebut dan sejumlah uang Rp 500 juta ditemukan di rumah dinasnya.

Adanya praktek dagang hukum di semua lini penegak hukum khususnya di lingkungan peradilan hinga Mahkamah Agung seperti mengurai benang kusut.

Penangkapan Panitera PN Jakarta Pusat, yang kemudian menyeret Sekretaris Mahkamah Agung  karena diduga menerima aliran dana dari konglomerat besar Rp 1,7 miliar adalah membuktikan senyalemen itu.
“R” inisial sekretaris Mahkamah Agung bersama sopirnya, sempat menyulitkan penyidik KPK untuk melakukan pengusutan perkara lebih lanjut karena MA sempat angkat tangan karena tidak tahu dimana gerangan mereka berada. Apakah ini bentuk perlindungan terhadap bawahan atas kejaran KPK, mudah-mudahan juga tidak.

Kasus serupa belum lama ini, kita kembali dikejutkan kasus suap Panitera PN Jakarta Utara, kali ini menyeret dua orang pengacara dan seorang pemberi suap dalam kasus cabul anak dibawah umur.

Dalam OTT KPK (15/06) ditemukan uang tunai Rp 250 juta dari tangan “R” panitera pengadilan setempat. Menurut catatan media panitera tersebut adalah pemilik asset yang cukup banyak. Mungkin berimbang dengan catatan sejarah KPK terbesar harta seorang koruptor “MN”  yang dirampas untuk negara senilai Rp 550 miliar (Sib.17/06).

Demi tegaknya hukum agar tidak terlalu gampang dipermainkan, menyangkut majelis hakim yang memutuskan perkara cabul tersebut, apakah turut menerima aliran dana suap, agaknya perlu dilakukan pendalaman yang lebih serius.

Sulit
Proses perkara yang begitu panjang dan melelahkan membutuhkan pikiran, tenaga terlebih uang karena berperkara di pengadilan tidak ada yang gratis.
Dalam perkara perdata, misalnya, dari tingkat pengadilan pertama hingga pengadilan negara tertinggi: MA. Pencari keadilan selalu bersentuhan dengan uang (biaya). Contoh sederhananya, Tergugat kadang kala tidak diketahui dimana berada. Pencari keadilan (Penggugat) harus mengeluarkan biaya untuk pemanggilan Tergugat via iklan koran sebanyak 3 kali dalam hitungan bulan untuk setiap kali panggilan hingga pemberitahuan putusan. PK juga memerlukan biaya, meletakkan sita, apalagi eksekusi yang selalu terancam gagal tidak terlepas urusannya menyangkut sejumlah uang.

Sehingga sulit sebenarnya menghindari praktek dagang gelap hukum ini karena disamping pencari keadilan juga  selalu bersentuhan  langsung dengan urusan biaya proses perkara hingga perkara selesai, sehingga timbulnya praktek dagang gelap hukum tak terlepas sumbernya  dari pencari keadilan itu sendiri. Apalagi signal kesempatan tersebut berasal dari kalangan orang dalam bahkan  kuasa hukum (Pengacara) dalam menangani  setiap perkara harus menang dan biayanya dibebankan kepada pencari keadilan.

Gebrakan yang dilakukan oleh KPK sudah cukup memadai dalam penegakan hukum dalam memberantas korupsi di Tanah Air Indonesia. Masalah efek jera bagi pelaku-pelaku korupsi dan meminimalkan calon pelaku korupsi berikutnya adalah tugas bersama bangsa, setidaknya katakan NO Korupsi mulai dari diri sendiri.

Penulis : Uratta Ginting SH, Advokat, tinggal di Medan
E-Mail   : uratta_ginting@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar