Oleh Uratta Ginting
Penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan No. 1/1974 diuji
materi Mahkamah Konstitusi atas permohonan seorang isteri karena merasa
tidak mendapat perlindungan hukum yang layak terkait perceraian yang
dimohonkan suaminya dengan dalih pertengkaran/percekcokan terus menerus
dalam rumah tangga.
Sedangkan faktanya percekcokan itu sendiri malah timbul karena ulah
sang suami yang secara diam-diam ternyata telah menjalin hubungan
terlarang dengan wanita lain. Bagaimana mungkin tidak cekcok dalam rumah
tangga karena isteri merasa cintanya yang suci telah dihianati suami.
Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi tersebut berkaitan dengan
bunyi penjelasan pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan No. 1/1974 yang sama
bunyinya dengan pasal 19 huruf f PP No.9/1975, lengkapnya berbunyi :
“Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.”
Sementara dalam ketentuan tersebut tidak memberi penjelasan secara
lengkap, siapa pemicu timbulnya percekcokan alias perselisihan dan
pertengkaran. UU Perkawinan tidak mempersoalkan siapa yang membuat
percekcokan terjadi dalam rumah tangga. Penting percekcokan antara suami
isteri benar-benar telah terjadi sudah cukup sebagai alasan cerai
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga pihak siapa yang
memulai percekcokan sama sekali tidak termasuk sebagai alasan
perceraian.
Seperti dalam perkara criminal pembunuhan. Apa latar belakang
terjadinya pembunuhan, tidak terlalu dipersoalkan. Mungkin awalnya
korban telah berkali-kali menggarap anak gadis dan isterinya sekaligus
hingga keduanya melahirkan. Karena pelaku kalap. Lalu menyerang
laki-laki yang telah meniduri anak dan isterinya tersebut dengan
beringas sampai tewas seketika. Kalau dipikir-pikir tindakan yang
diambil pelaku sebagai laki-laki normal sangat wajar dan manusiawi.
Namun, apapun alasannya pelaku tetap dijerat pasal pembunuhan.
Berbagai hal bisa saja memicu kehidupan rumah tangga menjadi tidak
langgeng. Sisi internal keluarga, misalnya pengaruh luka batin akibat
tekanan psikis suami sepanjang hari. Situasi ini bisa meledak
sewaktu-waktu mengarah percekcokan terus menerus.
Tekanan psikis ini tidak hanya dimonopoli suami. Isteri juga
berpotensi besar melakukan tekanan psikis kepada suami melalui omelan.
Kata-kata menusuk hati yang selalu merendahkan harga diri suami kerap
diucapkan dengan lancar, seperti suami tidak becus, tidak bertanggung
jawab, minta belikan sandal jepit saja tidak mampu, lebih baik kau mati
saja, dan lain-lain. Model isteri demikian ini bukan lagi sebagai
penolong suami, melainkan perongrong
Sedangkan pengaruh eksternal yang berasal dari luar rumah tangga.
Adanya campur tangan pihak ketiga karena suami telah membagi cintanya
kepada wanita lain. Ini juga tidak kalah penting sebagai sumber yang
selalu memicu terjadinya percekcokan suami isteri. Suami, misalnya diam-diam kawin lagi dengan wanita lain dan tidak
lagi memberi nafkah, pulang juga tidak (sebagaimana umumnya terjadi).
Bagaimana mungkin isteri tega cintanya dihianati suami dan merasa aib
kepada semua keluarga yang semula telah dipersatukan melalui perkawinan.
Kalau suami yang bertingkah lalu timbul percekcokan, seyogyanya yang
lebih tepat mengajukan cerai adalah isteri sendiri, bukan suami. Karena
faktanya suami yang punya ulah, wajar isteri tidak tahan lalu memilih
jalannya sendiri.
Namun, secara hukum percekcokan terus-menerus sebagai alasan cerai
justeru berlaku sebagai senjata ampuh dan sangat berpotensi
disalahgunakan oleh para suami nakal. Sebab hukum tidak mencari sumber
percekcokan. Cukup adanya bukti dikuatkan oleh keterangan saksi,
percekcokan alias perselisihan dan pertengkaran tersebut telah sesuai
dengan bunyi penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan
No.1/1974.
Halimah seorang ibu rumah tangga (menantu Alm. Soeharto mantan
presiden) menggugat penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf f tersebut di
Mahkamah Konstitusi terkait perceraian atas dirinya karena merasa
ketentuan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya. Karena tidak
mencantumkan hal-hal yang menjadi penyebab percekcokan disebut
bertentangan dengan UUD 1945.
Jika suami benar menikah dengan wanita lain, secara hukum isteri
berhak menuntut secara pidana, karena suami telah melakukan delik bigami
(ada halangan kawin), sebagaiamana diatur dalam pasal 279 KUHP.
Namun, dalam kenyataan prakteknya prosedur tersebut sering tidak
efektif untuk menyadarkan suami agar suami kembali baik-baik ke pangkuan
isteri pertama. Malah dikhawatirkan percekcokan akan semakin
menjadi-jadi. Apalagi sang suami tetap nekad hendak menikah dan wanita
calon isteri barunya juga rela menjalani hukuman, maka pengaduan
berikutnya akan terbentur dengan pasal Nebis in idem.
Oleh karena itu, sebelum terjadi perceraian ini perlu menjadi
renungan mendalam bagi pasangan suami isteri. Apakah sebuah perkawinan
masih dapat dipertahankan atau tidak terpulang kepada keduanya (suami
iseri). Orang bilang perceraian itu jahat, tetapi meneruskan perkawinan
yang penuh luka-luka batin tentu lebih jahat lagi. Apalagi salah satu
pihak sudah lama menjadi satu kebiasan yang sudah akrab mencintai
kekerasan dalam rumah rumah tangga. Tentunya, isteri terlalu pahit
diajak untuk berusaha tersenyum dalam menghadapi sutuasi sesulit apapun.
Banyak ragam alasan timbulnya percekcokan. Jangankan urusan
perselingkuhan.. Hal-hal yang sangat sepele hanya karena pasangan suami
isteri tersebut tidak memiliki pembantu bisa cekcok. Karena isteri sejak
lahir hingga dewasa berada di zona nyaman dilingkungan keluarga.
Fasilitas serba lengkap. Namun, tidak demikian setelah isteri menikah.
Persoalan anak, pasangan suami isteri belum memiliki anak/keturunan.
Isteri menghendaki anak, sedangkan suami sebaliknya. Akibatnya, pasangan
suami isteri menjadi tidak harmonis. Percekcokan tak terhindari, isteri
meninggalkan tempat kediaman bersama lalu pergi ke rumah orangtuanya.
Suami menyelesaikan kemelut rumah tangganya dengan cara menggugat
isterinya ke pengadilan agar perkawinan mereka diputuskan dengan jalan
cerai. Isteri dalam hal ini sah-sah saja membantah dan menolak cerai
dengan dalih bahwa suaminya yang memicu timbulnya percekcokan bukan
isteri.
Mahkamah Agung No. 3414 K/Pdt/1985, tanggal 04 Maret 1987 mengadili
perkara perceraian tersebut, dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan,
bahwa percekcokan yang tidak dapat dirukunkan kembali adalah alasan
untuk perceraian sesuai dengan pasal 19 PP No.9/1975, sedangkan apa yang
menjadi sebab dari timbulnya percekcokan tersebut tidak merupakan
alasan perceraian.
Ada kalanya percekcokan berakhir damai atas saran keluarga kedua
belah pihak, lalu perkara pun dicabut selanjutnya pengadilan menerbitkan
penetapan acta van dading. Suasana harmonis sebagai harapan keluarga
ternyata hanya sebentar, keributanpun kembali terjadi, isteri akhirnya
mengajukan kembali gugatan cerai untuk kedua kalinya dengan alasan yang
sama dengan gugatan cerai terdahulu, yakni masalah cekcok terus menerus.
Dalam perkara tersebut tampaknya dalam putusan Mahkamah Agung RI No.
798 K/Pdt/2007, tanggal 22 Januari 2008 tidak ragu-ragu mengambil
putusan cerai meskipun sebelumnya sudah pernah ada perdamaian dalam
kasus yang sama. Pada hal gugatan perceraian jika pernah berdamai bertentangan dengan
pasal 32 PP No. 9 Tahun 1975 Jo Putusan MA No. 216 K/Sip/1953, tanggal
21 Agustus 1957 dalam pertimbangan hukumnya, gugatan baru tidak dapat
diajukan lagi dan harus ditolak apabila antara suami isteri telah
terjadi perdamaian.
Dalam perkara tersebut isteri menceraikan suami karena alasan
percekcokan terus menerus. Awal percekcokan terjadi karena suami
memiliki bukti foto mesra isterinya dengan laki-laki lain dikuatkan oleh
sejumlah saksi bahkan isteri pernah pula digerebek bersama polisi dalam
satu rumah. Suami dalam hal ini menduga isterinya telah berselingkuh.
Tampaknya apapun alasan pemicu percekcokan terjadi antara suami
Isteri secara juridis jika percekcokan terbukti, maka perceraian
beralasan hukum untuk dikabulkan pengadilan tanpa mempersoalkan siapa
penyebat timbulnya percekcokan.
Jadi, menurut hemat penulis, ketentuan UU Perkawinan yang berlaku
sudah memadai dan tidak perlu menghapus dan membatalkan penjelasan pasal
39 ayat (2) huruf f sepanjang frasa :antara suami isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran, tidak bertentangan dengan UUD
Tahun 1945.
Sebab bagaimana pun juga hukum tidak mungkin memaksakan orang untuk mencintai pasangannya, ranah hukum hanya bisa mendamaikan.
Tentang penulis:
Uratta Ginting SH., Advokat tinggal di Medan.