Sabtu, 19 November 2016

PUTUSAN SERTA MERTA

Putusan Serta Merta, dari segi Hukum dan Keadilan Oleh: Uratta Ginting Uitvoerbarr bij voorrad atau dalam bahasa indonesianya sering diterjemahkan dengan putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum Banding, Kasasi atau Perlawanan oleh pihak Tergugat atau oleh pihak Ketiga yang dirugikan. Kita tahu bahwa peradilan di negeri ini dibagi menjadi dua tingkat peradilan yaitu Pengadilan Negeri ( pengadilan tingkat Pertama) dan Pengadilan Tinggi ( pengadilan tingkat Kedua ) kedua tingkat peradilan itu disebut dengan Judex Factie, atau peradilan yang memeriksa pokok perkara. Adapun Mahkamah Agung tidak disebut Pengadilan Tingkat Ketiga, karena Mahkamah Agung pada prinsipnya tidak memeriksa pokok perkara, melainkan sebagai pemeriksa dalam penerapan hukumnya saja. Putusan uitvoerbaar bij voorrrad tersebut dapat dijatuhkan dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau pengadilan tingkat kedua. Dari segi hukum acara perdata putusan tersebut memang dibolehkan walaupun menurut pengamatan dan penelitian Mahkamah Agung RI pelaksanaan dari adanya penjatuhan putusan serta merta tersebut sering menimbulkan berbagai masalah. Oleh karenanya Mahkamah Agung RI mengeluarkan berbagai Surat Edaran yang mengatur tentang tata cara dan prosedur penjatuhan serta pelaksanaan putusan tersebut. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan yang bisa diputus dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung kembali menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan adanya jaminan yang nilainya sama dengan barang / benda objek eksekusi. Dari sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIRdan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta. Bahwa selain pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan menimbulkan banyak permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum berikutnya, pihak yang Tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. oleh karenanya Hakim/Ketua Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam mengabulkan gugatan provisionil dan permintaan putusan serta-merta. Adapun dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut Surat Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 adalah : 1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak dibantah kebenarannya oleh pihak Lawan ; 2. Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah ; 3. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana hubungan sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang baik ; 4. Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan putusannya telah inkracht van gewijsde; 5. Dikabulkannya gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv, dan ; 6. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ; Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan uitvoerbaar bij voorraad sepanjang hal itu memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini Hakim masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut. Guna memproteksi hal-hal yang tidak diinginkan dimana pihak yang Tereksekusi ternyata dikemudian hari menjadi pihak yang memenangkan perkara tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.4 tahun 2001 tentang Putusan Serta-Merta yang isinya menekankan bahwa sebelum putusan serta-merta dapat dijalankan pihak Pemohon Eksekusi diwajibkan membayar uang jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi agar tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain. Apalagi kalau yang akan dieksekusi itu sebuah bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang mana bangunan tersebut harus dilestarikan keberadaannya dan pihak Pemohon Eksekusi bermaksud akan membongkar bangunan bersejarah tersebut yang akan digantikan dengan bangunan baru sesuai dengan rencananya. Masalahnya menjadi lain jika di kemudian hari pihak Tereksekusi ternyata diputus menang sehingga jelas pihak Tergugat/Termohon telah diperlakukan tidak adil. Selama upaya hukum berjalan Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi harus dapat menjamin bahwa bangunan yang telah dieksekusi tersebut harus tetap utuh seperti semula tanpa mengalami perubahan apapun hingga upaya hukum terakhir bagi Pihak Ter-eksekusi tidak ada lagi ( Inkracht Van Gewijsde ). Dan tentu tidak berlebihan dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan ancaman yang keras kepada Pejabat Pengadilan yang bersangkutan yang ditemukan menyimpang dalam melaksanakan putusan serta-merta sebagaimana ditegaskannya dalam butir ke-9 SEMA No.3 tahun 2000 tentang Putusan Serta-Merta dan Provionil.

APAKAH ADA KEKEBALAN HUKUM ADVOKAT

Hak Imunitas Advokat Dua rekan Advokat yang diadili di PN Surabaya sebagai terdakwa dengan dugaan pemalsuan surat dan fitnah. Berbeda kontras masalahnya dengan yang dihadapi oleh dua rekan Advokat sebagai Penasihat Hukum pedangdut kondang ibu kota, “SJ” dalam perkara cabul anak dibawah umur. Dalam “OTT” KPK pada Rabu, 15 Juni 2016, diataranya dua rekan Advokat “BNK” dan “KS” bersama “R” seorang pejabat penting PN Jakarta Utara, masing-masing telah ditetapkan sebagai tersangka suap. KPK mengamankan uang tunai Rp 250 juta dalam OTT tersebut yang diduga sebagai suap terkait dengan pengurangan pidana penjara agar tidak terlalu lama dijatuhkan kepada SJ. Sedang kasus yang menimpa rekan Advokat di Surbaya lain lagi, hak imunitas; “Advokat tidak boleh dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya ....” (pasal 16 UU Adovokat 2013) justru lebih relevan dipersoalkan, karena surat kuasa yang dimiliki masih dijalankan dengan itikad baik menurut koridor hukum yang berlaku. Dua Rekan Advokat yang tejaring dalam OTT KPK belum lama ini, hak imunitas dan kekebalan hukum tidak ada pada diri setiap Advokat yang melakukan pelanggaran hukum. Setiap warga negara sama saja dihadapan hukum. Oleh karena itu, jika terlalu memaksakan kehendak agar keadilan tetap berpihak kepada yang bersalah adalah suatu pekerjaan yang terlalu berisiko dan berbahaya. Risiko tersebut telah sampai di pangkuan dua rekan Advokat. Kiranya mampu menyadarkan kita, bahwa Advokat paling senior seorang “Prof” juga tidak mampu meloloskan dirinya sendiri dari ancaman pidana tipikor. Apalagi salah seorang Advokat yang terjaring dalam OTT tersebut menurut catatan media adalah pasangan suami istri seorang Hakim Tinggi, profesi yang mulia, pernah bertugas di PT Medan. Rasanya dari segi materi sudah cukup jika Advokat bersangkutan menjalankan profesi terhormat itu selalu berupaya menghindari risiko besar tersebut. Hidup ini hanya singgah sebentar di bumi yang fana ini. Meski telah disepakati tidak ada manusia sempurna. Tapi, apa sesunggahnya yang kita cari .... ? (Uratta Ginting)

Minggu, 17 Juli 2016

DAGANG HUKUM

Penegak Hukum dan Dagang Hukum
Oleh Uratta Ginting SH.

Konstitusi mengamanatkan pengadilan adalah tempat warga mencari keadilan dan setiap konflik yang terjadi tidak dibenarkan penyelesaiannya dilakukan dengan cara main hakim sendiri. Konon tantangan terbesar yang dihadapi bangsa ini saat sekarang adalah seputar penegakan hukum.

Menyebut nama pengadilan belakangan ini cukup banyak menyedot  perhatian masyarakat luas. Bukan karena unsur keberanian pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan narkoba. Melainkan karena adanya praktek permainan transaksi (dagang gelap) hukum justru melibatkan oknum penegak hukum sebagai pejabat tinggi negara.

Saat-saat KPK begitu gencar memberantas korupsi di tanah air yang didukung oleh masyarakat umumnya sampai ada wacana revisi UU KPK pun sejak awal telah dicurigai banyak kalangan hanya dianggap sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah ini.

Dagang Keadilan
Pembicaraan seputar penegakan hukum menjadi topik menarik tidak terlepas dari wajah  para pelakunya yang kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang terhormat dan dari segi finansial cukup mampu. Tidak mungkin anak istri oknum tersebut terlantar tanpa korupsi. Sama sekali tidak!

Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Prov Bengkulu, JP dan Hakim T diciduk KPK (24/05) terkait kasus korupsi diduga menerima suap Rp 650 juta. KPK menyita satu unit mobil Fortuner milik JP tersebut dan sejumlah uang Rp 500 juta ditemukan di rumah dinasnya.

Adanya praktek dagang hukum di semua lini penegak hukum khususnya di lingkungan peradilan hinga Mahkamah Agung seperti mengurai benang kusut.

Penangkapan Panitera PN Jakarta Pusat, yang kemudian menyeret Sekretaris Mahkamah Agung  karena diduga menerima aliran dana dari konglomerat besar Rp 1,7 miliar adalah membuktikan senyalemen itu.
“R” inisial sekretaris Mahkamah Agung bersama sopirnya, sempat menyulitkan penyidik KPK untuk melakukan pengusutan perkara lebih lanjut karena MA sempat angkat tangan karena tidak tahu dimana gerangan mereka berada. Apakah ini bentuk perlindungan terhadap bawahan atas kejaran KPK, mudah-mudahan juga tidak.

Kasus serupa belum lama ini, kita kembali dikejutkan kasus suap Panitera PN Jakarta Utara, kali ini menyeret dua orang pengacara dan seorang pemberi suap dalam kasus cabul anak dibawah umur.

Dalam OTT KPK (15/06) ditemukan uang tunai Rp 250 juta dari tangan “R” panitera pengadilan setempat. Menurut catatan media panitera tersebut adalah pemilik asset yang cukup banyak. Mungkin berimbang dengan catatan sejarah KPK terbesar harta seorang koruptor “MN”  yang dirampas untuk negara senilai Rp 550 miliar (Sib.17/06).

Demi tegaknya hukum agar tidak terlalu gampang dipermainkan, menyangkut majelis hakim yang memutuskan perkara cabul tersebut, apakah turut menerima aliran dana suap, agaknya perlu dilakukan pendalaman yang lebih serius.

Sulit
Proses perkara yang begitu panjang dan melelahkan membutuhkan pikiran, tenaga terlebih uang karena berperkara di pengadilan tidak ada yang gratis.
Dalam perkara perdata, misalnya, dari tingkat pengadilan pertama hingga pengadilan negara tertinggi: MA. Pencari keadilan selalu bersentuhan dengan uang (biaya). Contoh sederhananya, Tergugat kadang kala tidak diketahui dimana berada. Pencari keadilan (Penggugat) harus mengeluarkan biaya untuk pemanggilan Tergugat via iklan koran sebanyak 3 kali dalam hitungan bulan untuk setiap kali panggilan hingga pemberitahuan putusan. PK juga memerlukan biaya, meletakkan sita, apalagi eksekusi yang selalu terancam gagal tidak terlepas urusannya menyangkut sejumlah uang.

Sehingga sulit sebenarnya menghindari praktek dagang gelap hukum ini karena disamping pencari keadilan juga  selalu bersentuhan  langsung dengan urusan biaya proses perkara hingga perkara selesai, sehingga timbulnya praktek dagang gelap hukum tak terlepas sumbernya  dari pencari keadilan itu sendiri. Apalagi signal kesempatan tersebut berasal dari kalangan orang dalam bahkan  kuasa hukum (Pengacara) dalam menangani  setiap perkara harus menang dan biayanya dibebankan kepada pencari keadilan.

Gebrakan yang dilakukan oleh KPK sudah cukup memadai dalam penegakan hukum dalam memberantas korupsi di Tanah Air Indonesia. Masalah efek jera bagi pelaku-pelaku korupsi dan meminimalkan calon pelaku korupsi berikutnya adalah tugas bersama bangsa, setidaknya katakan NO Korupsi mulai dari diri sendiri.

Penulis : Uratta Ginting SH, Advokat, tinggal di Medan
E-Mail   : uratta_ginting@yahoo.com

WANPRESTASI DAN PENIPUAN

Mencermati  Wanprestasi Sebagai Penipuan
Oleh Uratta Ginting SH

            Menusia adalah makhluk sosial. Itu sudah kodrat, bahwa manusia tak mungkin hidup sendirian. Manusia hidup berkelompok karena sesama manusia pada dasarnya saling membutuhkan.
            Agar dalam lalu lintas pergaulan tidak terjadi benturan kepentingan, maka diperlukan hukum untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan kelompok tersebut.  Jika seseorang  untuk keperluan pengembangan usahanya membutuhkkan kucuran dana segar berupa pinjaman kepada seseorang yang mampu memberi pinjaman adalah suatu bukti bahwa manusia betapa hebatnya pun tidak mampu hidup sendirian.
            Dalam setiap hubungan hukum yang terjadi timbul hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan atas dasar itikad baik. Katakanlah urusan pinjam-meminjam uang tersebut sudah disepakati akan dikembalikan paling lambat 12 (dua belas) bulan ditambah sejumlah bunga yang dibayarkan perbulannya.
            Persoalannya menjadi lain jika si peminjam uang tersebut tidak mengembalikannya kepada pemilik uang setelah           12 (dua belas) bulan berlalu. Menurut hukum sipeminjam disebut wanprestasi karena tidak memenuhi prestasi sesuai yang telah disepakati sebelumnya.
            Bisa jadi pemilik uang begitu kesal menghadapi tingkah si peminjam yang selalu mengulur waktu membayar pinjamannya dengan berbagai dalih. Sehingga timbul niat kreditur (pemilik uang) menyerahkan persoalannya kepada pihak berwajib meskipun hubungan hukum antara mereka atas dasar perjanjian adalah ranah hukum perdata, bukan pidana.
Wanprestasi
            KUHPerdata tidak memberi batasan yang jelas tentang wanprestasi. Dalam prakteknya wanprestasi sering juga disebut “Cidra janji atau ingkar janji.” Namun, para ahli hukum Indonesia memberi rumusan seara garis besarnya, “Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik dan debitur punya unsur salah atasnya” (J. Satrio, 2011:3).
            Kata-kata adanya unsur salah pada debitur tersebut maksudnya karena tidak dipenuhinya kewajiban itu sebagaimana mestinya. Pada hal setiap perjanjian yang sah berlaku prinsip kejujuran sebagai syarat terbentuknya kesepakatan diantara mereka yang membuat perjanjian.
            Debitur atau sipeminjam kadang kala punya pengalaman tersendiri dalam berbisnis, sehingga menyadari betul implikasi tidak dipenuhinya isi perjanjian “sanksinya” hanya sebatas pembayaran ganti rugi dan hal itu baru dipenuhi jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila misalnya,  tidak ada juga itikad baik melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela. harus pula ditempuh melalui upaya eksekusi.
            Oleh karena itu, jalan satu-satunya menurut hukum untuk memaksa si peminjam yang telah wanprestasi agar segera memenuhi prestasinya tidak ada upaya hukum lain kecuali melalui gugatan perdata ke pengadilan.
            Namun, bukan rahasia bahwa menempuh jalur gugatan perdata memakan waktu panjang, tidak seperti awal pinjaman terjadi hanya butuh waktu singkat dan tidak rumit karena para pihak benar-benar memang telah sepakat.
            Dalam praktek penegakan hukum berkenan dengan perjanjian adalah sebagai ranah hukum perdata,  seseorang sering mencari jalan pintas untuk mendapatkan haknya kemballi dengan cara membuat laporan polisi dengan alasan pelapor adalah korban penipuan.
Sedang untuk menetapkan seorang menjadi tersangka sebagai tindak lanjut laporan seperti penangkapan dan penahanan terhadap seorang yang telah wanprestasi tersebut sepenuhnya adalah kewenangan yang dimiliki oleh penyidik polisi.
Penipuan (Bedrog)
            Apakah karena kreditur (pemilik uang) jengkel, buta hukum atau ingin  segera menerima uangnya kembali dengan utuh?
            Disinilah sering terjadi modus korban melapor pada polisi atas dasar penipuan (bedrog) sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP atau dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1328 BW.
            Meskipun awalnya adalah hubungan hukum perdata pinjam meminjam uang, dibuktikan dengan akta otentik atau dibawah tangan. Jika penyidik polisi menemukan dalam perjanjian adanya unsur rangkaian kata bohong, tipu muslihat dan keadaan palsu,  terlapor debitur dapat saja ditetapkan sebagai tersangka karena bersalah melakukan penipuan.
            Dalam jurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1885 K/Pid/2008, tanggal 3 Desember 2008, dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, bahwa perjanjian kerja sama lelang pengadaan kain dengan menggunakan nama sebuah CV ternyata Cv tidak pernah ada. Sementara korban telah menyetor dana kepada pemilik CV. Ketika lelang tidak terlaksana, uang diminta oleh korban, pihak CV menolak menyerahkan uang, perbuatan demikian diputuskan terbukti sebagai penipuan.
            Kasus jual beli rumah yang telah disepakati dan dituangkan tertulis dalam satu perjanjian. Namun, salah satu pihak wanprestasi (tidak melaksanakan prestasi seperti telah disepakati) akibatnya kerugian timbul pada pihak lain, lalu membuat laporan pada polisi.
            Dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1927 K/Pid/2007, tanggal 14 November 2007 kasus tersebut diputuskan  bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti melakukan penipuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Kendatipun ada pihak yang dirugikan menurut putusan MA terebut, maka pihak lain dapat mengajukan ganti kerugian, sebagaimana diatur Pasal 1919 BW.
            Kasus hutang dua orang pengusaha untuk keperluan pengembangan usaha telah berhutang kepada seseorang dengan jaminan giro bilyet. Dua pengusaha sampai batas waktu yang telah disepakati secara tertulis tidak membayar hutangnya kepada pemilik uang.
            Oleh karena pemilik uang telah berkali-kali memintanya kepada pengusaha tersebut, apalagi giro bilyet sebagai jaminan yang diberikan ternyata kosong, tanpa ada dananya di Bank yang ditunjuk. Akhirnya masalah piutang tersebut dilaporkan kepada polisi.
            PN Samarinda mengadili dalam perkara No.15/Pid/1991 memberikan putusannya yang amarnya berbunyi, “Perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran.” Selanjutnya membebaskan dua pengusaha tersebut dari tuntutan hukum. Sedang di tingkat banding, Pengadilan Tinggi menyatakan permohonan Jaksa tidak dapat diterima. Demikian juga pada tingkat kasasi, MA dalam putusannya No. 999 K/Pid/1982 menolak permohonan kasasi Jaksa.
            Persoalan semula adalah hutang yang belum tuntas. Namun, karena dua pengusaha yang pernah sebagai terdakwa menggugat pencemaran nama baiknya terhadap pemilik uang karena dianggap telah membuat pengaduan dengan fitnah (Pasal 317 KUHP).
Pengadilan telah pula menolak gugatan dua pengusaha berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 562 K/Sip/1973, perbuatan memasukkan pengaduan pada polisi untuk mempertahankan hak keperdataan, tidak termasuk perbuatan melawan hukum in casu  perbuatan fitnah seperti dimaksudkan pasal 1365 BW.
            Atau jika pengaduan polisi dianggap memfitnah – quod non—berdasarkan Pasal 1380 BW gugatan dua pengusaha telah kadaluarsa.
            Untuk menentukan seseorang telah wanprestasi apakah karena pura-pura lupa (lalai dalam Pasal 1238 BW) ataukah ada unsur disengaja tidaklah mudah untuk menentukan apakah ranah hukum perdata atau pidana penipuan.
            Menurut hemat penulis untuk mencermati kedua hal tersebut perlu pemahaman fakta juridis dan pembuktian terhadap fakta-fakta hukum berkaitan dengan “perbuatan sebelumnya” dan “perbuatan sesudah” perjanjian dibuat. Dengan demikian dapat memperjelas perbuatan mana dikategorikan sebagai wanprestasi (perdata) atau penipuan (pidana).
            Jika seorang mengikatkan diri kepada pihak lain dalam satu perjanjian tertulis tentang jual beli kayu. Akan tetapi, usai perjanjian ditandatangani belakangan diketahui pihak penjual kayu tersebut tidak pernah berurusan dengan kayu. Rasanya tidak adil jika penjual tersebut dinyatakan hanya wanprestasi (Pasal 1236 BW).
Karena salah satu pihak akibat perbuatan si penjual telah mengalami kerugian besar.  Bilamana salah satu pihak mengetahui keadaan sebenarnya dilandasi adanya kebohongan tipu muslihat, keadaan palsu tidak mungkin terjadi kesepakatan para pihak, karena kesepakatan adalah sebagai unsur paling utama dalam  jual beli kayu tersebut (Pasal 1320 BW).

            Penipuan (Bedrog) dalam hukum pidana (Pasal 378 KUHP) sebenarnya berbarengan dengan penipuan dalam hukum perdata (Pasal 1328 BW). Dua koridor hukum ini dapat ditempuh oleh orang yang merasa dirugikan sebagai akibat hubungan perjanjian yang dilandasi dengan tipu muslihat dan rangkaian kata bohong, keadan palsu terkait efek jera dengan sanksi pidana penjara. Kemudian penipuan menurut Pasal 1328 BW juga dapat ditempuh dengan cara mengajukan gugatan perdata terkait ganti kerugian.
            Meskipun antara wanprestasi dan penipuan, masing-masing berada dalam ranah hukum yang berbeda, namun tidak dapat saling dipertukarkan secara sembarangan dan sewenang-wenang.
            Karena bisa jadi maksud hati ingin menegakkan hukum justru mengorbankan keadilan itu sendiri; bahkan sekaligus melanggar HAM seseorang, sebagaimana bunyi Pasal 19 ayat (2) UU No. 39 Th 1999 Tentang HAM, menegaskan :
“Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.”      

Penulis adalah Uratta Ginting SH, Advokat, tinggal di Medan.






























MENOLAK KHAWATIR

Khawatir, Menghancurkan Hidup

            Karena khawatir, orang jadi ragu bertindak, takut salah apapun dikerjakan, gagal dan ditertawakan. Karena khwatir, orang jadi kikir. Karena khawatir, orang menimbun harta. Karena khawatir, pagar keliling rumah dibuat seperti tembok penjara.
            Jangan menganggap enteng kekhawatiran yang merasuk diri anda. Tolak kekhawatiaran itu, sebab kekhawatiran yang berlebihan sering digunakan iblis untuk membuat manusia meragukan pertolongan Tuhan.
            Leluhur manusia di bumi, Adam dan Hawa, tak pernah terlintas khawatir dalam kehidupan keduanya saat di Taman Firdaus, karena Tuhan telah melengkapi kebutuhan mereka serba ada. Namun, sejarah khwatir pertama kalinya ada dalam kehidupan manusia dimulai sejak leluhur manusia itu dipaksa keluar dari Taman Firdaus, karena OTT (Operasi Tangkap Tangan) terhadap Adam dan Hawa telah melanggar perintahNya.
            Namun, bukan alasan untuk memelihara rasa khwatir itu dalam diri. “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrs 5:7). Seiring dengan itu kembali ditegaskan Mateus 6:34 :
            “Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”
            Pesan menarik seorang penulis dan filsuf, Thomas Carlyle, berkata, “Urusan utama kita bukan melihat apa yang samar-samar berada di kejauhan tetapi melakukan apa yang jelas ada dihadapan kita.” Hal-hal yang masih rahasia di hari esok, kita serahkan kepada Tuhan dan tidak perlu kita khawatir.
            Pesan yang lebih extrim lagi, sebagaimana dikemukakan Dokter Alexis Carrol, berkata, “Orang yang tidak tahu mengalahkan kekhawatiran akan mati muda.” Sebab kekhawatiran dapat menyebabkan orang sakit jantung, darah tinggi, rematik, bisul, pilek, radang sendi, sakit kepala, buta, dan sakit maag, demikian ungkap DR. Edward Podolsky dalam buku Jacob Nahuway (1996:107).
Semua Manusia
Rasanya semua manusia yang pernah hidup di muka bumi ini, khawatir pernah hinggap pada dirinya. Dengan berbagai alasan, khawatir bisa jadi datang sendiri dalam kehidupan seseorang.
Jika khawatir maling masuk rumah, ya, kunci baik-baik. Itu khwatir sehat. Tapi ada juga khwatir tidak masuk akal. Seorang bercita-cita menjadi seorang pengacara, namun sejak dini sudah khwatir lawan perkaranya sewaktu-waktu bisa membunuh dirinya, pada hal ia belum jadi pengacara karena tamat kuliah saja belum. Khawatir demikian ini sangat tidak sehat dan mampu menghancurkan hidup.
Tentang khawatir ini seorang raja Saul pernah juga khawatir saat diserbu pasukan filistin yang berkekuatan 3000 kereta, 6000 pasukan berkuda dan sebanyak pasir di laut pasukan berjalan kaki, mereka bergerak serentak untuk menghimpit orang Israel.
Siapa yang mampu menantang Tsunami karena dalam waktu singkat bisa menyapu bersih apa saja yang menghadang didepannya. Artinya, biar hidup ini tidak luput dari masalah, penting dipahami apakah kita  menguasai masalahnya atau diri kita yang dikuasai oleh masalah.
Tuhan Yesus menyapa rasa khwatir dalam Matius 6:25-34 tentang kebutuhan yang sangat pokok, yaitu sandang pangan. “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung. Namun, diberi makan oleh Bapamu di surga” (Mat.6:26).
Berpikir ala manusia  kemungkinan langsung ada saling berbantah: itu, ‘kan burung. Sedang kita manusia yang dikaruniai akal sehat untuk berfikir secara rasional. Justru kamampuan berpikir itu pula manusia itu melebihi burung. Sehingga lebih mampu melihat apa yang terjadi di depan mata. Dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi kemudian, maka sudah tentu ia pun khawatir sedang burung tidak.
Oleh karena itu, dalam batas-batas kewajaran, bila khwatir hanya melintas dalam kehidupan kita adalah manusiawi. Karena seorang raja yang punya kuasa begitu besar juga ada rasa khawatir dalam hidupnya. Namun, rasa khawatir menjadi masalah bila menjadi beban berat menekan hidup kita. Ibarat menggali lobang untuk diri sendiri. Semakin dalam lobang itu makin gelap dan sesak. Yang dapat dilihat disana hampir tidak ada lagi yang baik karena yang tampak hanya kaki terperosok kedalam lobang.
Khawatir masuk melalui pikiran. Penyakit juga dimulai dari pikiran. Penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis, lever, kanker adalah lima penyakit besar semuanya berawal dari pikiran. Kabar baiknya tentang kekhawatiran ini, Yesus berpesan :
“Siapa diantara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambah sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Mat.6:27).
Semoga perjalanan hidup anda dan saya meski melalui padang gurun masih ada suka cita menuju masa depan penuh cahaya terang. (Uratta Ginting).

MEMORI KASASI

MEMORI KASASI
Oleh Uratta Ginting SH

            Tingkat peradilan negara tertinggi berpuncak pada Mahkamah Agung RI. Bilamana pencari keadilan tidak dapat menerima putusan pengadilan yang dibawahnya, UU menjamin untuk mengajukan upaya hukum kasasi, dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan diucapkan hakim atau sesudah putusan  diberitahukan kepada para pihak bila tidak hadir.
            Sedang pernyataan/permohonan kasasi beserta alasan-alasannya yang dituangkan dalam memori kasasi “wajib” diajukan dalam rentang waktu 14 (empat belas) hari tersebut, sebagaimana Pasal 47 UU No. 14 Th 1985 Tentang Mahkamah Agung, menegaskan :
            “Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.” (Kursif penulis).
            Beda dengan upaya hukum banding pengadilan tinggi hanya cukup  menandatangani akta banding dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan diucapkan hakim atau sesudah putusan  diberitahukan kepada para pihak bila tidak hadir. Sedang memori banding tidak terikat waktu 14 hari tersebut, karena untuk mengajukan memori banding tidak wajib. Sebab pengadilan negeri dan pengadilan tinggi adalah judex factie yang berwenang mendadili fakta perkara.
            Mengingat banyaknya waktu tersita menunggu giliran putusan Mahkamah Agung, apakah masih perlu kasasi? Rasanya seperti tidak perlu apabila putusan banding Pengadilan Tinggi benar-benar telah memenuhi rasa keadilan dan dapat diterima semua kalangan masyarakat, bahwa putusan tersebut  memang sudah harus demikian.
            Untuk menghindari perkara berjejal di Mahkamah Agung sampai menahun perkaranya belum putus atau mungkin saja sudah putus ..... toch  kapan pemberitahuan putusan itu tiba kepada para pihak tidak ada batasan waktu yang jelas.
            Cukup baik sebenarnya menilik kembali peradilan desa zaman dahulu, putusan kepala adat langsung final dan dapat diterima masyarakat dengan suka rela tanpa ada lagi banding atau kasasi.
            Yang salah menerima hukuman dan yang kehilangan hak-haknya seketika itu pula mendapat penggantian. Masyarakat pun kembali tenteram.
            Bukankah tujuan mulia hukum itu sendiri adalah untuk menciptakan ketenteram dalam bermasyarakat?
            Para pemikir hukum modern ternyata tidak sependapat dalam setiap menyelesaikan persoalan langsung final. Manusia, biar pengacara, jaksa, polisi dan seorang hakim tidak luput membuat kesalahan dan kekeliruan yang fatal. Ingat kasus Sengkon-Karta atau Lingah-Pacah, oleh karena kekeliruan seorang anak manusia menjadi korban ketidakadilan yang telah menorehkan sejarah penegakan hukum yang kelam.
            Oleh karena itu, sesuatu yang dinyatakan telah benar menurut hakim bawahan masih perlu diuji kebenarannya oleh hakim yang lebih tinggi, terutama bila pihak berperkara merasa tidak puas.
            Menurut teory medern, kebenaran itu masih perlu terus diuji dan diuji kembali. Sehingga tidak heran kalau putusan hakim bawahan masih dapat diuji oleh hakim banding, putusan hakim banding biasa pula diuji oleh hakim agung. Kalau pun masih juga ada kekeliruan, ada lagi lembaga bernama PK (Peninjauan Kembali).
            Mengikuti sistem hukum modern tersebut, akibatnya hampir semua putusan hakim bawahan, oleh pihak yang kalah melakukan upaya hukum banding dilanjutkan lagi kasasi, kemudian PK. Pada hal pokok perkaranya adalah hutang piutang sejak pengadilan tingkat pertama hingga PK telah mewajibkan salah satu pihak yang telah wanprestasi untuk membayar hutangnya.
            Meski putusan telah berkekuatan hukum tetap, pada tahap eksekusi tidak ada jalan lurus, masih bertemu urusan yang lebih rumit, sudah umum terjadi eksekusi tertunda dan tertunda. Kemudian pada tahap sebelum eksekusi, lebih seru lagi, pihak yang kalah (termohon eksekusi) masih ada waktu mengajukan “perlawanan” untuk membatalkan eksekusi dengan objek perkara yang sama. Sehingga tidak jarang terjadi semua putusan semula menjadi batal.
            Seribu kemungkinan itulah --- selain bisa menunda kekalahan --- sebenarnya akan mengundang banyak pencari keadilan menjadi nakal. Siapa tahu nasib baik memihak apalagi ada signal kuat ada yang mampu memutar-mutar hukum dengan imbalan sejumlah uang.

Penulis adalah Uratta Ginting SH, advokat, tinggal di Medan


PENGABDIAN ADVOKAT

Hak Imunitas Advokat
           
Dua rekan Advokat yang diadili di PN Surabaya sebagai terdakwa dengan dugaan pemalsuan surat dan fitnah. Berbeda kontras masalahnya dengan yang dihadapi oleh dua rekan Advokat sebagai Penasihat Hukum pedangdut kondang ibu kota, “SJ” dalam perkara cabul anak dibawah umur.
Dalam “OTT” KPK pada Rabu, 15 Juni 2016, diataranya dua rekan Advokat “BNK” dan “KS” bersama “R”  seorang pejabat penting PN Jakarta Utara, masing-masing telah ditetapkan sebagai tersangka suap.
KPK mengamankan uang tunai Rp 250 juta dalam OTT tersebut yang diduga sebagai suap terkait dengan pengurangan pidana penjara agar tidak terlalu lama dijatuhkan kepada SJ.
Sedang kasus yang menimpa rekan Advokat di Surbaya lain lagi, hak imunitas; “Advokat tidak boleh dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya  ....” (pasal 16 UU Adovokat 2013) justru lebih relevan dipersoalkan, karena surat kuasa yang dimiliki masih dijalankan dengan itikad baik menurut koridor hukum yang berlaku.
Dua Rekan Advokat yang tejaring dalam OTT KPK belum lama ini, hak imunitas dan kekebalan hukum tidak ada pada diri setiap Advokat yang melakukan pelanggaran hukum. Setiap warga negara sama saja dihadapan hukum. Oleh karena itu, jika terlalu memaksakan kehendak agar keadilan tetap berpihak kepada yang bersalah adalah suatu pekerjaan yang terlalu berisiko dan berbahaya.
Risiko tersebut telah sampai di pangkuan dua rekan Advokat. Kiranya mampu menyadarkan kita, bahwa Advokat paling senior seorang “Prof” juga tidak mampu meloloskan dirinya sendiri dari ancaman pidana tipikor.
Apalagi salah seorang Advokat yang terjaring dalam OTT tersebut menurut catatan media adalah pasangan suami istri seorang Hakim Tinggi, profesi yang mulia, pernah bertugas di PT Medan. Rasanya dari segi materi sudah cukup jika Advokat bersangkutan menjalankan profesi terhormat itu selalu berupaya menghindari risiko besar tersebut. Hidup ini hanya singgah sebentar di bumi yang fana ini. Meski telah disepakati tidak ada manusia sempurna. Tapi, apa sesunggahnya yang kita cari .... ?
(Uratta Ginting)

KESETIAAN MANUSIA

Sebuah Kesetiaan Membuka Hati Manusia
Oleh Uratta Ginting

Sebuah makam di Kota Edinburg, Skotlandia banyak mendapat perhatian wisatawan mancanegara setiap ada kesempatan berkunjung di kota ini.

Makam tersebut sebenarnya bukan tempat jasad orang yang pernah besar dan patut dikenang selama hidupnya, melainkan hanya seorang pengembala ternak hewan.

Pengembala ternak ini tidak pula seorang yang banyak memiliki kelebihan semasa hidupnya sekalipun ia seorang pengembala. Tetapi hanya sebagai orang biasa-biasa saja sebagaimana layaknya kehidupan seorang pengembala, sehari-hari penuh waktu berada di hamparan rerumputan hijau yang luas nan sunyi. Tidak ada siapa-siapa. Hanya seruling bambu untuk menghibur diri.

Pengembala hanya ditemani seekor Anjing setia. Anjing selalu ada kemanapun tuannya beranjak. Demikian aktifitas sehari-hari kedua makluk ini.

Sutua ketika karena pengembala termakan usia tua, maka pengembala ini pun akhirnya meninggal dunia. Tinggallah seekor Anjing ini tanpa tuan.

Upacara sederhana pemakaman dilakukan oleh beberapa warga desa untuk mengantar jenazahnya di sebuah pemakaman di Kota Edinburg, seekor Anjingnya juga ikut mengantar jenazah ke pemakaman tuannya.

Anehnya, selesai pemakaman dilakukan, maka satu persatu pula ke rumah masing-masing. Namun, tidak demikian dilakukan seekor Anjing ini.

Anjing milik pengembala malah menunggui di makam tuannya siang malam selama 12 tahun lamanya hingga Anjing tersebut menemui ajalnya di samping makam tuannya sendiri.

Lalu untuk bertahan hidup, Anjing ini sebelum menemui ajalnya makan roti dan minum pemberian seorang pembuat roti. Selesai makan dan minum kembali lagi ke makam tuannya dengan penuh setia.
Karena kesetian yang luar biasa dari seekor Anjing  itulah membuat makam tuannya selalu ramai menjadi perhatian wisatawan.

Lalu mengapa manusia sulit menjadi seorang setia, sedang Anjing seekor hewan bisa setia? Jawabnya ada ditorehkan jauh sebelumnya dalam Amsal 20:6, mengatakan, “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?”