Minggu, 17 Juli 2016

MEMORI KASASI

MEMORI KASASI
Oleh Uratta Ginting SH

            Tingkat peradilan negara tertinggi berpuncak pada Mahkamah Agung RI. Bilamana pencari keadilan tidak dapat menerima putusan pengadilan yang dibawahnya, UU menjamin untuk mengajukan upaya hukum kasasi, dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan diucapkan hakim atau sesudah putusan  diberitahukan kepada para pihak bila tidak hadir.
            Sedang pernyataan/permohonan kasasi beserta alasan-alasannya yang dituangkan dalam memori kasasi “wajib” diajukan dalam rentang waktu 14 (empat belas) hari tersebut, sebagaimana Pasal 47 UU No. 14 Th 1985 Tentang Mahkamah Agung, menegaskan :
            “Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.” (Kursif penulis).
            Beda dengan upaya hukum banding pengadilan tinggi hanya cukup  menandatangani akta banding dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan diucapkan hakim atau sesudah putusan  diberitahukan kepada para pihak bila tidak hadir. Sedang memori banding tidak terikat waktu 14 hari tersebut, karena untuk mengajukan memori banding tidak wajib. Sebab pengadilan negeri dan pengadilan tinggi adalah judex factie yang berwenang mendadili fakta perkara.
            Mengingat banyaknya waktu tersita menunggu giliran putusan Mahkamah Agung, apakah masih perlu kasasi? Rasanya seperti tidak perlu apabila putusan banding Pengadilan Tinggi benar-benar telah memenuhi rasa keadilan dan dapat diterima semua kalangan masyarakat, bahwa putusan tersebut  memang sudah harus demikian.
            Untuk menghindari perkara berjejal di Mahkamah Agung sampai menahun perkaranya belum putus atau mungkin saja sudah putus ..... toch  kapan pemberitahuan putusan itu tiba kepada para pihak tidak ada batasan waktu yang jelas.
            Cukup baik sebenarnya menilik kembali peradilan desa zaman dahulu, putusan kepala adat langsung final dan dapat diterima masyarakat dengan suka rela tanpa ada lagi banding atau kasasi.
            Yang salah menerima hukuman dan yang kehilangan hak-haknya seketika itu pula mendapat penggantian. Masyarakat pun kembali tenteram.
            Bukankah tujuan mulia hukum itu sendiri adalah untuk menciptakan ketenteram dalam bermasyarakat?
            Para pemikir hukum modern ternyata tidak sependapat dalam setiap menyelesaikan persoalan langsung final. Manusia, biar pengacara, jaksa, polisi dan seorang hakim tidak luput membuat kesalahan dan kekeliruan yang fatal. Ingat kasus Sengkon-Karta atau Lingah-Pacah, oleh karena kekeliruan seorang anak manusia menjadi korban ketidakadilan yang telah menorehkan sejarah penegakan hukum yang kelam.
            Oleh karena itu, sesuatu yang dinyatakan telah benar menurut hakim bawahan masih perlu diuji kebenarannya oleh hakim yang lebih tinggi, terutama bila pihak berperkara merasa tidak puas.
            Menurut teory medern, kebenaran itu masih perlu terus diuji dan diuji kembali. Sehingga tidak heran kalau putusan hakim bawahan masih dapat diuji oleh hakim banding, putusan hakim banding biasa pula diuji oleh hakim agung. Kalau pun masih juga ada kekeliruan, ada lagi lembaga bernama PK (Peninjauan Kembali).
            Mengikuti sistem hukum modern tersebut, akibatnya hampir semua putusan hakim bawahan, oleh pihak yang kalah melakukan upaya hukum banding dilanjutkan lagi kasasi, kemudian PK. Pada hal pokok perkaranya adalah hutang piutang sejak pengadilan tingkat pertama hingga PK telah mewajibkan salah satu pihak yang telah wanprestasi untuk membayar hutangnya.
            Meski putusan telah berkekuatan hukum tetap, pada tahap eksekusi tidak ada jalan lurus, masih bertemu urusan yang lebih rumit, sudah umum terjadi eksekusi tertunda dan tertunda. Kemudian pada tahap sebelum eksekusi, lebih seru lagi, pihak yang kalah (termohon eksekusi) masih ada waktu mengajukan “perlawanan” untuk membatalkan eksekusi dengan objek perkara yang sama. Sehingga tidak jarang terjadi semua putusan semula menjadi batal.
            Seribu kemungkinan itulah --- selain bisa menunda kekalahan --- sebenarnya akan mengundang banyak pencari keadilan menjadi nakal. Siapa tahu nasib baik memihak apalagi ada signal kuat ada yang mampu memutar-mutar hukum dengan imbalan sejumlah uang.

Penulis adalah Uratta Ginting SH, advokat, tinggal di Medan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar