Selasa, 22 September 2015

HAMBATAN EKSEKUSI & WIBAWA PN



Beberapa Hambatan Eksekusi 

Oleh Uratta Ginting

Belum lama ini petinggi hukum di negeri ini, DR Harifin Tumpa, SH., ketua Mahkamah Agung RI, beserta rombongan dalam kunjungan kerjanya ke Tanah Karo cukup menarik perhatian, tentunya secara khusus bagi masyarakat pencari keadilan.

Disela-sela kesibukan kunjungan kerjanya tersebut Ketua MA bersedia menyisihkan waktunya menerima kehadiran seorang pencari keadilan marga Purba yang sudah lama merasa teraniaya. Karena tanah lahan Juma Laudah miliknya, seluas ± 3 Ha, Jalan Kabanjahe-Tiga Panah, Kab. Karo dikuasai oleh orang lain sulit dieksekusi untuk diserahkan kepadanya sebagai orang yang satu-satunya berhak, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI tahun 1985.

Pada hal marga Purba selaku pemohon eksekusi telah memenangkan perkaranya dari tingkat Pengadilan Negeri 1978, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara 1983, Mahkamah Agung RI 1985 dan putusan Peninjauan Kembali 1987. Pertanyaannya kurang apalagi koq Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam kurun waktu 25 tahun lamanya tidak melalukan eksekusi sampai berkas-berkas perkara terpaksa diserahkan kepada petinggi hukum di negeri ini. Pada hal penetapan eksekusi telah dikeluarkan Pengadilan Negeri Kabanjahe sejak tanggal 14 April 1998.

Ada apa dibalik semua itu. Sepak terjang mafia tanah, kalau pun ada, telah merobek-robek wibawa hukum di negeri tercinta ini. Seolah-olah keringat perjuangan pemilik tanah tersebut yang telah dimulai sejak 1978 di Pengadilan Negeri Kabanjahe hanya menang diatas kertas. Tanpa arti apa-apa.

HAMBATAN

Secara juridis umumnya hambatan yang terjadi biasanya adalah objek eksekusi sudah tidak ada lagi. Misalnya, pada saat eksekusi pemohon eksekusi tidak dapat menunjukkan dimana letak tanah yang hendak dieksekusi. Karena termohon eksekusi telah menjualnya kepada pihak lain jauh sebelum terjadi perkara. Atau bisa jadi pengaruh kemajuan pembangunan “objek perkara dinyatakan salah” karena batas-batas tanah total telah berubah. Walaupun kadang hanya sebagai dalih. Namun, dalam prakteknya hal sepeti itu juga termasuk salah satu gangguan eksekusi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Hambatan lainnnya, putusan pengadilan bersifat declaratoir. Putusan jenis ini tidak sesuai dengan azas eksekusi karena putusan dalam azas eksekusi adalah bersifat kondemnatoir, yakni amar putusannya bersifat penghukuman kepada pihak lawan (tergugat). Umumnya terdapat dalam perkara kontentiosa “penggugat dan tergugat saling berhadapan.”

Amar putusan yang tidak dibarengi “menghukum” lawan (tergugat) atau sekalian orang yang memperoleh hak daripadanya untuk menyerahkan tanah perkara kepada penggugat dalam keadaan baik dan kosong tanpa halangan (hanya putusan declaratoir). Risikonya tidak dapat dieksekusi (non-eksekutabel) karena sifat putusan tersebut hanya sekedar pernyataan yang menegaskan suatu kedudukan, hak, keadaan atau kewajiban.

Solusi yang harus ditempuh satu-satunya melalui upaya hukum mengajukan kembali gugatan baru untuk penyerahan dengan permohonan putusan serta merta “uitvoerbaar bij vooraad” (pasal 191 R.Bg/180 HIR).

Tata cara tersebut walaupun dibenarkan menurut hukum acara, namun dalam prakteknya suatu hal yang tidak dapat dhindari adalah liku-liku proses hukumnya sama dengan perkara sebelumnya. Karena pihak lawan secara maksimal akan tetap melakukan upaya hukum melalui banding, kasasi, PK atau perlawanan sekalipun pihak lawan menyadari bukti-bukti yang dimiliki dasar hukumnya sangat lemah.

Proses jawab menjawab telah berakhir di pengadilan. Urusannya berlanjut di lapangan termohon eksekusi menggunakan jurus nekad membawa parang, mengerahkan massa, bahkan melalui adegan semi bugil mampu menggagalkan eksekusi.

Kalau putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap masih bisa digagalkan oleh segilintir orang, wibawa pengadilan amat perlu dipertanyakan.

Pemohon eksekusi yang memenangkan perkara telah berupaya maksimal mengumpulkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit pencari keadilan wajar merasa ada permainan dalam tubuh aparat penegak hukum sendiri.

Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam pernah melaksanakan eksekusi tanah di KIM Medan tanpa pengawalan aparat kepolisian. Kareana polisi merasa tidak ada menerima pemberitahuan dari pihak pengadilan. Apakah pengadilan lalai atau tidak yang jelas pemohon eksekusi telah berkali-kali menjadi korban yang tidak memahami liku-liku birokrasi.

Kejadian yang sama di Tanah Karo, eksekusi tanah di Desa Senjaya, juga harus gagal karena pihak termohon eksekusi mengadakan perlawanan di lapangan dengan menggunakan mesin pemotong rumput dan mesin pemotong kayu. Pada saat eksekusi berlangsung pihak kepolisian ternyata tidak maksimal melakukan pengamanan, sehingga eksekusi saat itu gagal.
Bersamaan dengan permohonan eksekusi sering pula terjadi muncul perkara perlawanan atau Peninjauan Kembali (PK). Pencari keadilan malah merasa dilukai karena menerima penjelasan dari pengadilan harus menunggu putusan perlawanan atau putusan PK. Sehingga asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan hanya sebatas wacana saja.

Semoga kehadiran petinggi hukum tersebut di bumi turang dapat membawa sebuah harapan baru bagi pencari keadilan yang teraniaya dan akan membawa perubahan dalam penegakan hukum yang berwibawa tanpa harus mengorbankan keadilan.

Tentang penulis:
Uratta Ginting SH., Advokat tinggal di Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar