Beberapa
Hambatan Eksekusi
Oleh Uratta Ginting
Belum lama ini petinggi hukum di
negeri ini, DR Harifin Tumpa, SH., ketua Mahkamah Agung RI, beserta rombongan
dalam kunjungan kerjanya ke Tanah Karo cukup menarik perhatian, tentunya secara
khusus bagi masyarakat pencari keadilan.
Disela-sela kesibukan kunjungan
kerjanya tersebut Ketua MA bersedia menyisihkan waktunya menerima kehadiran
seorang pencari keadilan marga Purba yang sudah lama merasa teraniaya. Karena
tanah lahan Juma Laudah miliknya, seluas ± 3 Ha, Jalan Kabanjahe-Tiga Panah,
Kab. Karo dikuasai oleh orang lain sulit dieksekusi untuk diserahkan kepadanya
sebagai orang yang satu-satunya berhak, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI
tahun 1985.
Pada hal marga Purba selaku pemohon
eksekusi telah memenangkan perkaranya dari tingkat Pengadilan Negeri 1978,
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara 1983, Mahkamah Agung RI 1985 dan putusan
Peninjauan Kembali 1987. Pertanyaannya kurang apalagi koq Pengadilan Negeri
Kabanjahe dalam kurun waktu 25 tahun lamanya tidak melalukan eksekusi sampai
berkas-berkas perkara terpaksa diserahkan kepada petinggi hukum di negeri ini.
Pada hal penetapan eksekusi telah dikeluarkan Pengadilan Negeri Kabanjahe sejak
tanggal 14 April 1998.
Ada apa dibalik semua itu. Sepak
terjang mafia tanah, kalau pun ada, telah merobek-robek wibawa hukum di negeri
tercinta ini. Seolah-olah keringat perjuangan pemilik tanah tersebut yang telah
dimulai sejak 1978 di Pengadilan Negeri Kabanjahe hanya menang diatas kertas.
Tanpa arti apa-apa.
HAMBATAN
Secara juridis umumnya hambatan yang
terjadi biasanya adalah objek eksekusi sudah tidak ada lagi. Misalnya, pada
saat eksekusi pemohon eksekusi tidak dapat menunjukkan dimana letak tanah yang
hendak dieksekusi. Karena termohon eksekusi telah menjualnya kepada pihak lain
jauh sebelum terjadi perkara. Atau bisa jadi pengaruh kemajuan pembangunan
“objek perkara dinyatakan salah” karena batas-batas tanah total telah berubah.
Walaupun kadang hanya sebagai dalih. Namun, dalam prakteknya hal sepeti itu
juga termasuk salah satu gangguan eksekusi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Hambatan lainnnya, putusan
pengadilan bersifat declaratoir. Putusan jenis ini tidak sesuai dengan azas
eksekusi karena putusan dalam azas eksekusi adalah bersifat kondemnatoir, yakni
amar putusannya bersifat penghukuman kepada pihak lawan (tergugat). Umumnya
terdapat dalam perkara kontentiosa “penggugat dan tergugat saling berhadapan.”
Amar putusan yang tidak dibarengi
“menghukum” lawan (tergugat) atau sekalian orang yang memperoleh hak
daripadanya untuk menyerahkan tanah perkara kepada penggugat dalam keadaan baik
dan kosong tanpa halangan (hanya putusan declaratoir). Risikonya tidak dapat
dieksekusi (non-eksekutabel) karena sifat putusan tersebut hanya sekedar
pernyataan yang menegaskan suatu kedudukan, hak, keadaan atau kewajiban.
Solusi yang harus ditempuh satu-satunya
melalui upaya hukum mengajukan kembali gugatan baru untuk penyerahan dengan
permohonan putusan serta merta “uitvoerbaar bij vooraad” (pasal 191 R.Bg/180
HIR).
Tata cara tersebut walaupun
dibenarkan menurut hukum acara, namun dalam prakteknya suatu hal yang tidak
dapat dhindari adalah liku-liku proses hukumnya sama dengan perkara sebelumnya.
Karena pihak lawan secara maksimal akan tetap melakukan upaya hukum melalui
banding, kasasi, PK atau perlawanan sekalipun pihak lawan menyadari bukti-bukti
yang dimiliki dasar hukumnya sangat lemah.
Proses jawab menjawab telah berakhir
di pengadilan. Urusannya berlanjut di lapangan termohon eksekusi menggunakan
jurus nekad membawa parang, mengerahkan massa, bahkan melalui adegan semi bugil
mampu menggagalkan eksekusi.
Kalau putusan Mahkamah Agung yang
telah berkekuatan hukum tetap masih bisa digagalkan oleh segilintir orang,
wibawa pengadilan amat perlu dipertanyakan.
Pemohon eksekusi yang memenangkan
perkara telah berupaya maksimal mengumpulkan biaya dan tenaga yang tidak
sedikit pencari keadilan wajar merasa ada permainan dalam tubuh aparat penegak
hukum sendiri.
Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam
pernah melaksanakan eksekusi tanah di KIM Medan tanpa pengawalan aparat
kepolisian. Kareana polisi merasa tidak ada menerima pemberitahuan dari pihak
pengadilan. Apakah pengadilan lalai atau tidak yang jelas pemohon eksekusi
telah berkali-kali menjadi korban yang tidak memahami liku-liku birokrasi.
Kejadian yang sama di Tanah Karo,
eksekusi tanah di Desa Senjaya, juga harus gagal karena pihak termohon eksekusi
mengadakan perlawanan di lapangan dengan menggunakan mesin pemotong rumput dan
mesin pemotong kayu. Pada saat eksekusi berlangsung pihak kepolisian ternyata
tidak maksimal melakukan pengamanan, sehingga eksekusi saat itu gagal.
Bersamaan dengan permohonan eksekusi
sering pula terjadi muncul perkara perlawanan atau Peninjauan Kembali (PK).
Pencari keadilan malah merasa dilukai karena menerima penjelasan dari
pengadilan harus menunggu putusan perlawanan atau putusan PK. Sehingga asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan hanya sebatas wacana saja.
Semoga kehadiran petinggi hukum
tersebut di bumi turang dapat membawa sebuah harapan baru bagi pencari keadilan
yang teraniaya dan akan membawa perubahan dalam penegakan hukum yang berwibawa
tanpa harus mengorbankan keadilan.
Tentang penulis:
Uratta Ginting SH., Advokat tinggal di Medan.
Uratta Ginting SH., Advokat tinggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar