Oleh Uratta Ginting

Topik menarik tersebut mengingatkan
kita bahwa dari sejumlah perkara prapid (praperadilan) yang disidangkan,
putusannya teramat jarang memihak pencari keadilan. Umumnya kebanyakan
permohonan prapid ditolak oleh pengadilan.
Dalam prakteknya penanganan perkara
prapid ini memang memerlukan suatu keahlian khusus, harus dibuat spesifik dan
dikemas sedemikian rupa. Tidak boleh ngaur dari konteks masalahnya seputar
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan yang menjadi
materi praperadilan. Ketika masuk ke ranah materi pokok perkara, misalnya,
dugaan tindak pidana pemalsuan surat, tidak diperiksa apakah surat dimaksud
asli atau palsu, apakah surat itu sudah digunakan atau belum. Karena itu pula
biasanya tersangka tidak wajib hadir dipersidangan praperadilan.
Ahli hukum Andi Ayub Saleh
(1991:131) menyatakan, praperadilan dibentuk guna menilai sah tidaknya tindakan
aparat penegak hukum tentang terdapatnya kekeliruan atau kesalahan terhadap :
(1) Penangkapan yang tidak sah menurut UU, (2) Penahanan yang sah menurut UU,
(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan menurut UU, (4) Penyitaan tidak sah
menurut UU.
Dalam perkara prapid yang digelar di
PN Kabanjahe cukup mengundang perhatian masyarakat luas, khususnya di Karo
karena persoalannya menyangkut diri seorang pejabat. Beberapa waktu lalu sebenarnya
seorang warga telah membuat laporan polisi secara resmi di Polres Tanah Karo,
sehubungan dugaan pemalsuan Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI) Kena Ukur
Karo Jambi. SKPI telah digunakan pejabat tersebut untuk melengkapi persyaratan
Calon Bupati dalam Pilkada 2010 lalu.
Berdasarkan fakta yang dikumpulkan
oleh penyidik Polres Tanah Karo telah menetapkan tersangka 2 orang mantan
Kepala Sekolah yang terlibat dugaan pemalsuan Surat Keterangan Pengganti Ijazah
(SKPI) an. Kena Ukur Karo Jambi (saat ini telah dilengsengserkan oleh wakil
rakyat sebagai Bupati Karo).
Yang menjadi pertanyaan hukum bagi
kita adalah penyidik Polres Tanah Karo telah menetapkan 2 orang tersangka.
Berarti dua bukti yang setidak-tidaknya sebagai bukti permulaan ada dugaan kuat
telah terjadi tindak pidana pemalsuan surat, toch penyidik Polres Tanah karo
malah menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti meskipun sudah
ada ditetapkan tersangkanya. Ke 2 orang tersangka ini juga sebenarnya berhak
mengajukan prapid karena ditetapkan tersangka pemalsuan surat, pada hal tidak
cukup bukti.
Sementara menurut M. Yahya Harahap,
SH (2002:5) disebutkan alasan dilakukannya penghentian penyidikan dan
penuntutan adalah : (1) Tidak terdapat cukup bukti, (2) Peristiwa tersebut
tidak termasuk kejahatan atau pelanggaran tidak pidana, (3) Nebis In idem, (4)
Kadaluarsa.
Diluar alasan yang dikemukakan
diatas belum ada diatur sebagai acuan penghentian penyidikan. Kecuali hanya
alasan yang dicari-cari. Sehingga apa saja yang menjadi bukti awal sebagai
dasar menetapkan tersangka dalam persoalan ini jelas ada indikasi tindak pidana
menggelapkan bukti.
Agaknya kurang relevan Humas Poldasu
ketika itu mengatakan, alasan penerbitan Surat perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) kasus tersebut karena Bupati Karo sama sekali tidak memiliki ijazah.
“Setelah dilakukan pengecekan di sekolah seperti yang disebutkan itu, ternyata
yang bersangkutan tidak pernah menduduki bangku sekolah (SINDO, 24/12/2013,
hl.1).
Lebih menggelikan lagi dikatakan,
kasus tersebut terpaksa dihentikan karena tidak ada unsur pemalsuan. “Apa yang
dipalsukan? Sekolah saja dia (Bupati Karo) tidak pernah dari mana pula dapat
ijazah?”
Tanggapan demikian penulis teringat
pernyataan seorang jaksa terkenal berkaitan dengan PK. Dalam permintaan
Peninjauan Kembali (PK), hukum mengatur yang berhak mengajukan permintaan
Peninjauan Kembali (PK) hanya disebutkan terpidana atau ahli warisnya (Pasal
263 ayat 1 KUHAP).
Jaksa terkenal tersebut ternyata
ikut juga nimbrung mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK). Alasan sang
jaksa cukup singkat, “karena hukum tidak melarang.” Bagaimana pula seorang
maling kambing bertanya dimana diatur dirinya bersalah, namanya sendiri koq
tidak tercantum dalam pasal undang-undang yang dituduhkan.
Pembangunan penegakan hukum di
negeri ini akan semakin parah di masa depan jika persoalan hukum yang
dikedepankan selalu yang aneh-aneh antara fakta dan hukum begitu semraut.
Oleh karena itu, sudah tepat dan benar, lagi-lagi sangat memenuhi rasa keadilan, RL Tobing SH hakim tunggal PN Kabanjahe ketika itu menjatuhkan putusan hukum, bahwa penghentian penyidikan yang dilakukan termohon Kapolres Tanah Karo dinyatakan tidak sah dan penyidikan terhadap materi pokok perkaranya harus dilanjutkan. Prapid menang bukan kemenangan siapa-siapa, akan tetapi karena hukum itu sendiri yang berwibawa (panglima).
Tentu tidak kalah pentingnya berkat
kegigihan kuasa pemohon prapid Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Cab.
Kabanjahe Dahsat Tarigan, SH. Dkk. Seorang Pengacara kondang tidak salah alamat
menggeruduk kebuntuan hukum selama ini membuat kasus semula gelap menjadi
terang.
Melalui putusan PN Kabanjahe penuh
harapan agar hukum di negeri ini semakin berwibawa kedepan. Sebab Prapid itu
ada semata-mata hanya sebagai alat kontrol terhadap kinerja aparat penegak
hukum (penyidik Polri dan jaksa) dan tujuannya untuk menghindari adanya
tindakan sewenang-wenang yang sangat merugikan orang yang sama sekali tidak
bersalah.
Akhirnya,. Sah-sah saja jika pelaku
kejahatan dijatuhi hukuman, akan tetapi bagaimana sebaliknya orang yang tidak
tahu apa-apa ditangkap, ditahan lalu dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Disinilah kehadiran Prapid sangat dibutuhkan oleh pencari keadilan.
Artikel ini pernah dipublikasikan di Media Sosial
Wordpress, 02 Pebr 2015
Artikel ini pernah dipublikasikan di Media Sosial
Wordpress, 02 Pebr 2015
Tentang penulis:
Uratta Ginting SH, Advokat-Pengacara tinggal di Medan.
Uratta Ginting SH, Advokat-Pengacara tinggal di Medan.
Email: uratta.gins@yahoo.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar