Selasa, 22 September 2015

PRAPID TERKAIT IJAZAH PALSU



 
Oleh Uratta Ginting
Uratta GintingPenghujung tahun 2013 lalu, penulis tersentak sekaligus gembira atas satu berita : “PN. Kabanjahe Kabulkan Prapid SP3 SKPI Bupati Karo; SP3 Termohon Kapolres Karo Tidak Sah dan Harus Dilanjutkan.
Topik menarik tersebut mengingatkan kita bahwa dari sejumlah perkara prapid (praperadilan) yang disidangkan, putusannya teramat jarang memihak pencari keadilan. Umumnya kebanyakan permohonan prapid ditolak oleh pengadilan.

Dalam prakteknya penanganan perkara prapid ini memang memerlukan suatu keahlian khusus, harus dibuat spesifik dan dikemas sedemikian rupa. Tidak boleh ngaur dari konteks masalahnya seputar penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan yang menjadi materi praperadilan. Ketika masuk ke ranah materi pokok perkara, misalnya, dugaan tindak pidana pemalsuan surat, tidak diperiksa apakah surat dimaksud asli atau palsu, apakah surat itu sudah digunakan atau belum. Karena itu pula biasanya tersangka tidak wajib hadir dipersidangan praperadilan.

Ahli hukum Andi Ayub Saleh (1991:131) menyatakan, praperadilan dibentuk guna menilai sah tidaknya tindakan aparat penegak hukum tentang terdapatnya kekeliruan atau kesalahan terhadap : (1) Penangkapan yang tidak sah menurut UU, (2) Penahanan yang sah menurut UU, (3) Penghentian penyidikan dan penuntutan menurut UU, (4) Penyitaan tidak sah menurut UU.

Dalam perkara prapid yang digelar di PN Kabanjahe cukup mengundang perhatian masyarakat luas, khususnya di Karo karena persoalannya menyangkut diri seorang pejabat. Beberapa waktu lalu sebenarnya seorang warga telah membuat laporan polisi secara resmi di Polres Tanah Karo, sehubungan dugaan pemalsuan Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI) Kena Ukur Karo Jambi. SKPI telah digunakan pejabat tersebut untuk melengkapi persyaratan Calon Bupati dalam Pilkada 2010 lalu.
Berdasarkan fakta yang dikumpulkan oleh penyidik Polres Tanah Karo telah menetapkan tersangka 2 orang mantan Kepala Sekolah yang terlibat dugaan pemalsuan Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI) an. Kena Ukur Karo Jambi (saat ini telah dilengsengserkan oleh wakil rakyat sebagai Bupati Karo).
Yang menjadi pertanyaan hukum bagi kita adalah penyidik Polres Tanah Karo telah menetapkan 2 orang tersangka. Berarti dua bukti yang setidak-tidaknya sebagai bukti permulaan ada dugaan kuat telah terjadi tindak pidana pemalsuan surat, toch penyidik Polres Tanah karo malah menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti meskipun sudah ada ditetapkan tersangkanya. Ke 2 orang tersangka ini juga sebenarnya berhak mengajukan prapid karena ditetapkan tersangka pemalsuan surat, pada hal tidak cukup bukti.
Sementara menurut M. Yahya Harahap, SH (2002:5) disebutkan alasan dilakukannya penghentian penyidikan dan penuntutan adalah : (1) Tidak terdapat cukup bukti, (2) Peristiwa tersebut tidak termasuk kejahatan atau pelanggaran tidak pidana, (3) Nebis In idem, (4) Kadaluarsa.

Diluar alasan yang dikemukakan diatas belum ada diatur sebagai acuan penghentian penyidikan. Kecuali hanya alasan yang dicari-cari. Sehingga apa saja yang menjadi bukti awal sebagai dasar menetapkan tersangka dalam persoalan ini jelas ada indikasi tindak pidana menggelapkan bukti.

Agaknya kurang relevan Humas Poldasu ketika itu mengatakan, alasan penerbitan Surat perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus tersebut karena Bupati Karo sama sekali tidak memiliki ijazah. “Setelah dilakukan pengecekan di sekolah seperti yang disebutkan itu, ternyata yang bersangkutan tidak pernah menduduki bangku sekolah (SINDO, 24/12/2013, hl.1).

Lebih menggelikan lagi dikatakan, kasus tersebut terpaksa dihentikan karena tidak ada unsur pemalsuan. “Apa yang dipalsukan? Sekolah saja dia (Bupati Karo) tidak pernah dari mana pula dapat ijazah?”
Tanggapan demikian penulis teringat pernyataan seorang jaksa terkenal berkaitan dengan PK. Dalam permintaan Peninjauan Kembali (PK), hukum mengatur yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK) hanya disebutkan terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat 1 KUHAP).

Jaksa terkenal tersebut ternyata ikut juga nimbrung mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK). Alasan sang jaksa cukup singkat, “karena hukum tidak melarang.” Bagaimana pula seorang maling kambing bertanya dimana diatur dirinya bersalah, namanya sendiri koq tidak tercantum dalam pasal undang-undang yang dituduhkan.

Pembangunan penegakan hukum di negeri ini akan semakin parah di masa depan jika persoalan hukum yang dikedepankan selalu yang aneh-aneh antara fakta dan hukum begitu semraut.

Oleh karena itu, sudah tepat dan benar, lagi-lagi sangat memenuhi rasa keadilan, RL Tobing SH hakim tunggal PN Kabanjahe ketika itu menjatuhkan putusan hukum, bahwa penghentian penyidikan yang dilakukan termohon Kapolres Tanah Karo dinyatakan tidak sah dan penyidikan terhadap materi pokok perkaranya harus dilanjutkan.
Prapid menang bukan kemenangan siapa-siapa, akan tetapi karena hukum itu sendiri yang berwibawa (panglima).
 
Tentu tidak kalah pentingnya berkat kegigihan kuasa pemohon prapid Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Cab. Kabanjahe Dahsat Tarigan, SH. Dkk. Seorang Pengacara kondang tidak salah alamat menggeruduk kebuntuan hukum selama ini membuat kasus semula gelap menjadi terang.

Melalui putusan PN Kabanjahe penuh harapan agar hukum di negeri ini semakin berwibawa kedepan. Sebab Prapid itu ada semata-mata hanya sebagai alat kontrol terhadap kinerja aparat penegak hukum (penyidik Polri dan jaksa) dan tujuannya untuk menghindari adanya tindakan sewenang-wenang yang sangat merugikan orang yang sama sekali tidak bersalah.

Akhirnya,. Sah-sah saja jika pelaku kejahatan dijatuhi hukuman, akan tetapi bagaimana sebaliknya orang yang tidak tahu apa-apa ditangkap, ditahan lalu dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Disinilah kehadiran Prapid sangat dibutuhkan oleh pencari keadilan.
Artikel ini pernah dipublikasikan di Media Sosial
Wordpress, 02 Pebr 2015

Tentang penulis:
Uratta Ginting SH, Advokat-Pengacara tinggal di Medan.
Email: uratta.gins@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar